Bapak,
terlalu lelah aku menyusuri jalan ini tanpamu, bisik batin menghiba. Ternyata
kau lebih dekat dari angin. Kekuatan itu merayap dipenghujung malam yang enggan
berdamai dengan rasa letih dan kantuk.
***
Lima tahun yang lalu tepatnya ketika aku
merasa bahagia karena bapak dinyatakan sembuh dari sakitnya. Stroke yang telah
lama dideritanya berangsur-angsur pulih, perawatan dan pengobatan yang
benar-benar intensif. Padahal aku masih teringat saat pertama Dokter Radian
menyatakan bapak mengalami stroke Januari kala itu, kemungkinan oleh dua faktor
yang menyebabkan bapak stroke yang pertama karena usia bapak yang mulai
menginjak 57 tahun menyebabkan pembuluh darah mengeras dan menyempit, atau
karena pola makan bapak yang sembrono tidak mengiraukan kandungan kadar
kolesterol, sehingga terjadi penyumbatan aliran darah yang menuju ke otak.
“...dan bapak mu mengalami stroke jenis
iskemik, hal ini terjadi karena aliran darah ke otak terhenti akibat penumpukan
kolesterol pada dinding pembuluh darah, penyebabnya adalah mungkin bapak
mu pola makannya tidak dijaga, mulai sekarang hindari makan makanan
yang banyak mengandung kolesterol, semua jenis makan yang mengandung lemak
hentikan, sejenis daging-dagingan dan telur,” jelasnya panjang lebar.
Bapak, mengalami stroke setelah satu
tahun sepeninggalan ibu, wanita itu menghilang begitu saja. Muak sungguh jika
aku mengingat dia lagi, pekerjaannya memerintah bapak layaknya seorang putri raja
pada sahaya, namun bapak selalu tabah dan tersenyum, sungguh aneh. Hingga
umurku 15 tahun, tak pernah sekalipun
aku diperlakukan seperti anaknya,
nasibku lebih malang dibanding bapak, dia membuat peraturan kapan aku harus
bangun tidur, kapan aku harus makan, dan parahnya lagi tidak ada jadwal bermain
atau menonton tivi sekalipun, aku harus rodi dipasar itu. Wanita itu menghilang
ghaib disuatu pagi tanpa meninggalkan jejak. Raib dalam bayangan malam yang
pekat.
Kesembuhan bapak seperti emas permata yang
sangat langka bagiku. Kesembuhan bapak seperti sebongkah kehidupan, cahaya yang
menyala disaat mulai redup. Bagaimana tidak selama tiga tahun terakhir ini aku
hidup dalam bungkam di rumah sebesar keraton ini. Sudah lama tidak ada kata
yang mampu bapak ucapkan, hanya bulir-bulir air mata yang sejuk terkadang
menggenang di kelopak matanya yang keriput. Oh mungkinkah bapak kecewa dengan
perlakuanku saat ini, terkadang orang tua lebih sensitif saat ia sakit.
Terkadang aku kebingungan saat bapak sendu tanpa alasan. Terpikirkah bapak
tentang ibu?
Semua semakin terasa dekat, saat bapak
mulai bisa berkata lagi, “Vira..Elvira..”, aku terlonjak karena ini adalah kata
pertama bapak setelah bungkam tiga tahun, “Elvira kamu sudah besar...”, ya bapak
benar sejak itu aku beranjak dewasa kematangan ku menginjak 18 tahun, bapak
anak mu ini sudah besar tapi baktiku pada mu teramat sedikit, batinku terus
berceloteh mengharu biru tak tentu. Aku merasa bahagia, bapakku sembuh,
kedekatan kami terasa sekali saat bapak mulai belajar berjalan, belajar makan
sendiri, belajar menulis pesanan dan belajar menyisir rambutnya sendiri ketika
selesai ku mandikan.
“Ngger1,
janten anak soleha, asih pada
kematian, ajrih pada Gusti Pangeran2, matur nuwun sudah ngurusi bapak selama
ini, kamu anak soleha ngger”, bapak berkata dengan kata-katanya yang terbata-bata.
Aku hanya terdiam dalam tangis yang tak bisa kutahan. Bapak adalah pria tegar, selama
hidup dengan ibu dia rela menjadi kepanjangan telunjuk ibu, ya bapak hanyalah
seorang penjual sayuran di pasar dan ibu adalah nyonya besar di rumah ini,
dahulu. Bapak yang tetap tersenyum saat ibu membentaknya, bapak yang tegar
menanti saat ibu pulang larut malam. Sungguh bapak ini bapak terhebat.
***
“Bapak... bapak!” teriakku
terisak-isak. Lunglai sudah, usahaku mencari bapak nihil. Tidak ada tanda-tanda
bapak di dalam rumah, keadaan rumah yang besar membuatku cukup kerepotan mencari-cari.
Padahal bapak baru mulai bisa berjalan, dan itupun masih dengan menggunakan
tongkat, tapi kemana ia pergi. Mungkinkah di lantai atas? Tidak mungkin karena
bapak belum terbiasa lagi menaiki tangga. “Bapak... bapak!” kembali aku
berteriak sekuat mungkin. Oh mungkin bapak berjalan-jalan keluar berkunjung
pada tetangga, sudah lama sekali bapak tidak keluar, mungkin bapak rindu pada
Bi Enah langganan sayurnya di pasar, atau ke Mang Ano yang sering membawa
kelapa pesanan bapak.
Rumah kami adalah paling besar di
kampung ini, agak berjauhan dengan tetangga, kalau berjalan bisa mencapai lima
menitan karena harus melewati dulu kebun jagung dan huma. Rumah ini didesain
megah entah oleh siapa, diatas bukit. Sehingga apabila kami hendak ke tetangga
harus berjalan menurun dengan pemandangan yang elok. Dan apabila Mang Ano
memenuhi pesanan bapak, dia harus rela berjalan bongkok karena jalan yang
menanjak. Tapi ditepi jalan itu kami dihibur pemandangan yang indah, diantara
jagung dan huma itu nampak sembulan rupa dan warna bunga yang menebar aroma
khas, menggoda kupu-kupu singgah dan mata enggan beralih pandang. Pemandangan
yang khas disajikan, berundak-undak kebun jagung hijau siap panen, sangat rapi
dan teratur. Dipadu dengan lenggang padi yang mulai menguning amat serasi. Tapi
terik matahari dan perasaan yang membara karena khawatir yang teramat sangat
ini membuatku melupakan nyanyian alam itu. Aku berburu waktu, bapakku dimana?
Bapak harus tahu aku telah lulus hari ini.
SMA Bukit Indah hari ini membagikan
kelulusan, tentu saja seharusnya bapak hadir dan bertepuk tangan diantara
kursi-kursi yang berjejer didepan itu. Bapak harus bangga karena anaknya
berhasil lulus dengan nilai terbaik. Namun bapakku belum sembuh benar, ia harus
banyak beristirahat. Terpaksa kelulusan ini aku sendiri yang menerimanya. Tak
kuasa rasanya ingin sampai di rumah, sepanjang perjalanan aku berlari dan
bernyanyi meskipun jalan yang kutempuh sangat jauh dan menanjak melelahkan.
Namun setibanya dirumah bapakku pun raib seperti halnya ibu. Jika ibu hilang
dipagi hari, mengapa bapakku pun harus menghilang di siang hari begini.
Adzan duhur terdengar sayup saat aku
ketuk rumah Bi Enah.
“Tok..tok..tok.. Bibi lihat bapak turun ga
hari ini?” tanyaku memberondong Bi Enah yang belum sempat merapikan
kerudungnya. “Engg... enggak neng, tidak terlihat dari tadi juga bapak neng
turun. Padahal hari ini Bibi nggk kemana-mana kok;” jawab Bi Enah penuh
kekagetan. Aku lunglai, jika Bi Enah mengatakan ia tidak melihat bapak itu
artinya bapak tidak turun bukit, karena satu-satunya rumah yang dekat ya ini
rumah Bi Enah, adapun rumah Mang Ano kami harus berjalan lebih curam lagi untuk
sampai disana. Dan artinya bapak tidak mungkin ke rumah Mang Ano, karena untuk
kerumah Mang Ano itu artinya bapak harus melewati rumah Bi Enah, dan Bi Enah
tidak melihatnya. “Bibi benar tidak melihatnya? Mungkin bibi tadi sempat
kemana?” tanyaku penasaran. “Tidak neng, tadi bibi jemur jagung di depan sini,
nggk kemana-mana lagi kok, memangnya bapak neng kenapa?”
Aku terduduk lemas, bapakku kemana ya
Allah bisikku sangat khawatir. “Gak tau bi, padahal tadi pagi bapak nggk
kemana-mana, malah bapak minta pesanan jagung bakar”, kenangku mengingat tadi
pagi bapak sangat ingin sekali aku membakar jagung muda untuknya, dan ini
sangat aneh karena bapak dari dulu tidak suka jagung.
“Ya mungkin bapak di huma neng...” saran
Bi Enah.
Aku segera berpamitan dan kembali
kebukit, rumahku nun di puncak sana. Bapakku dimanakah engkau? Napasku
terengah-engah, lari bolak balik menuruni dan menaiki bukit mengingatkan aku
pada Siti Hajar yang mencari air untuk anaknya Nabi Ismail As. Tapi sekarang
aku lari bolak-balik mencari bapakku ke huma-huma yang rimbun jagung dan padi.
Nihil tak ada petunjuk.
Lemas dan haus, aku putuskan kembali kerumah.
Air wudhu jernih dialirkan dari bukit diatas bukit menyapu wajah yang kemerahan
tertimpa terik matahari. Segar dan sejuk. Aku terlambat, duhur telah berlalu
sejak satu jam tadi. Ya Allah aku malah melupakan Mu. Mengapa tidak aku adukan
semua ini pada mu sejak tadi? Ku reguk dua genggam air jernih ini, tak kuasa
menahan haus. Kemudian kusempurnakan wudhu dengan doa yang terimpas angin
sepoi.
“Allahu Akbar..” rintihku dalam kamar
yang sepi dan tenang. Ku lantunkan doa-doa, merayu Nya dalam ketakutan dan
kemeranaanku. Dalam sujud terakhir ku titip salam semoga Allah mengampuni dosaku,
bapakku dan ibukku. “Ya Allah perkenankan lah aku mati dalam khusnul khotimah.....”
Alhamdulillah hati terasa lebih tenang jika
telah mengadu kepada pemilik musibah dan barakah. Namun kemudian “brukk”
dilantai atas terdengar suara aneh keras sekali, seperti sebuah benda besar yang
terjatuh. Dengan tergopoh-gopoh aku berlari kelantai atas, siap tahu itu memang
bapak.
“Bapak....” teriakku lemah dan sejenak tak
ingat apa-apa lagi.
Bapak mengakhiri hidup dengan seutas
tali pada lehernya. Ya Rabb tangisan batinku tak kuasa menahan perih, ampuni
dosa-dosa bapakku.
***
Seorang wanita itu terkapar dengan
darah merah yang mengucur, hampir-hampir ususnya keluar karena tikaman itu
sangat jauh melukai perutnya yang tengah hamil, tapi sangat amat lebih jauh
melukai hatinya. Pada detik-detik terakhirnya, ia mengingat dan hendak
mengulang kembali rekaman hidup yang telah ia lakoni. Masa kecilnya sebagai
putri seorang juragan, menikah dengan seorang laki-laki berwajah jelek pendek
hitam dan pesek, karena perjodohan orang tua. Dari perjodohan bodoh itu ia melahirkan
seorang putra dan putri yang amat dia benci, kemudian karena tak tahan hidup
dalam kepura-puraan mencintai, akhirnya selingkuh dengan mantan kekasih yang
dulunya adalah pembantu di rumah orang tuanya, lelaki tampan dan polos.
Suaminya pergi mengalah dengan membawa serta putranya. Namun kemudian tak puas
pula dengan suami yang hanya tampan, karena ia tidak becus berusaha, ia hanya
penjual sayuran, cihhhhh menyebalkan. Keputusan terakhirnya adalah menemui seseorang
yang sering mengirim emas permata selama ini, seorang pria kaya yang tak
tanggung-tanggung dalam masalah harta, selingkuhan berikutnya. Namun kini ia si
durjana hanyalah penghancur semuanya, putrinya yang telah empat tahun tak
bertemu sang ibu, habis disikat pula dengan tidak menggunakan nurani. Oh aku
salah, suamiku yang tampan pun mati di
tangan si durjana ini, karena aku sering menangis dengan menyebutnya. Dan kini
putriku, selama ini aku tak pernah membuat dia merasa seperti putriku yang
sesunguhnya, tapi aku tak kuasa jika harus menyaksikan ia mengerang perih dalam
bayang-bayang kebejatan penebar-penebar nafsu. Maafkan aku anakku.
***
Linangan air mataku terhapus dia
yang datang seperti angin, seseorang yang mengamitku pada rumah besar seperti
istana. Ia menangisi keadaanku (mereka diluar sana bilang aku gila). Ia bapakku
begitu ceritanya mengalir, mengusap air mataku dan menyuapiku kue yang telah ia
lunakkan. Dia menggenggam tanganku yang dia sebut adalah, “Kau anakku sudah
besar nak? Kalung ini masih juga kau pakai padahal kau sudah besar, masih muat
nak? Badan mu kurus.”
Aku berdiri didepan cermin besar ini
mengingat masa yang tak pernah aku mengerti. Mengapa waktu berjalan lambat. Dia
yang memaksaku untuk memanggilnya bapak, terburu-buru masuk ke ruangan ini yang
dia sebut adalah kamarku dan tersenyum, kemudian dia membisikkan ku sesuatu
“Aku bapakmu Elvira kecilku sayang.” Aku terdiam karena ini adalah kata yang
paling sering aku dengar. Dia menutupi kepalaku dengan kerudung hijau,
menggantikan bajuku dengan baju kurung panjang kemudian membawaku keluar
ruangan.
Ruangan beraroma obat, putih dan
bersih. “Radian, bisakah kamu mengecek kesehatan Elvira, dia teramat kurus.”
Aku terkejut mendapati dokter itu pun terkejut. Siapa dia tanya hatiku? Orang
yang memaksakku memanggilnya bapak mengatakan Radian adalah kakakku.
***
Ya
Allah anakku telah besar, terimakasih ya Allah karena Engkau telah kumpulkan
kami dalam lindungan Mu Yang Maha Luhur. Radian, Elvira, Rabbi habli
minassolihin. Aamiin. (Bisiknya dini hari itu).