4 Desember 2015

Jika Kita Memutuskan Untuk Tak Memutuskan Apapun

Standard

Sederhananya,
jika orang yang kau cintai pergi,
bukan ada yg salah dgn mu,
tapi ada orang yg akan datang,
dan ia lebih siap mencintaimu....

Sederhananya,
yang pergi akan kembali,
mungkin dgn nama yg berbeda....

Syukuri saja, tak ada yg salah dgn mu, tetap perbaiki diri.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

setiap manusia mesti bersyukur, Tuhan titipkan sebuah kemuliaan dalam dirinya, sesuatu yang benama "perasaan".
Perasaan yang datang pada kita, memainkan diri kita berlarut-larut, atau perasaan yang membuat sesuatu menjadi lebih indah, bermakna, lebihterasa ada "ruh" nya.

------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari-hari yang kita lewati telah tertulis dalam kitab induk yang nyata, akan terjadi. Pun dengan tulisan ini. Ada kalanya kita hanya harus memilih untuk melewatinya dengan bahagia, atau dengan hati yang keruh. Menulis dengan kekesalan, atau dengan pengharapan.
Itu namanya sebuah keputusan, memilih.

Tetapi ada sesuatu dianatara dua, anatara memilih, anatara tidak memilih. Ada keputusan untuk tak memutuskan apapun.
Benar, itu yang terjadi denganku,
Mengetahuimu, dan segenap masalah yang kau sebut aku tak akan mengerti, dan kau sellau tak tuntas. Rasa jengah membuatku untuk lebih hening, membiarkan belantara diriku hiruk pikuk.....
 Akhirnya, aku memvonis diriku, tak memberi keputusan apapun, ya apapun, agar mengalir kepada Nya.

Duhai Tuhan, inilah diriku, segenap kurangku
Kukembalikan segala apa yang tak pernah kumiliki, pada awalnya, akhirnya...
Engkau urusi diriku dari hal yang tak kumengerti dan kumengerti.. banyak hal yang tak kupahami, tapi kuyakini.

Az.


Rumah bernama Entah

Standard
Ada sebuah rumah bernama entah, dibangun di atas tanah bernama kemungkinan. Berdiri sendiri di tengah padang rumput... sekelilingnya hutan belantara, hanya adu satu jalan masuk, lurus ke arah barat, mengikuti jejak-jejak kaki kuda. Selain itu, tidak bisa dilewati, pohonnya terlalu rapat, jebakan lumpur isap, juga hewan-hewan ganas.
Jalan satu-satunya itu akan mengarah ke danau. Dari danau dibutuhkan sampan kecil untuk melintas dan lalu sampai di jalan raya. benar, daratan ini tepat berada di tengah-tengah danau, pulau kecil saja, dengan satu rumah bernama entah.

Di sanalah aku tinggal, pada mulanya berbanyakan. Sekian lama waktu membuat kebersamaan kami semakin lekat. Lalu satu persatu pergi, jemputan yang kami sering gosipkan menjadi kenyataan... Aku hanya seorang putri biasa, jemputan tak kunjung datang.
Sering bertanya, mengapa jemputanku belum juga ada? Adakah si penunggang terkena celaka?

Kabar demi kabar kudengar, si burung dara mengicaukan nama-nama penunggang yang hari ke hari berpaling jalan.
"Kau tahu, hati itu bisa berubah putri! Si penunggang melewati danau, ah bahkan sebelum sempat ia menemukan kudanya, ia amat mengagumi kedalaman danau, lalu ia tenggelam sebelum sempat menemukanmu."
"Itu ceritamu hari kemarin," sergahku, gusar.
"Aku lupa, si penunggang yang lainnya. Bukankah ia yang telah maaf, mmm.. mmmm.. sempat bertemu denganmu?"
"Ya pesta yang salah, aku harusnya tidak datang."
"Dia sudah melupakanmu kupikir. Kau tahu apa yang membuatnya melupakanmu? Hahaha, kau keras kepala putri. Dia tidak melihatmu dari awal, dia melihat ketangguhanmu saja, kelebihanmu saja, habis kau tak ada lagi yang perlu dibanggakan, adakah alasan lain seseorang untuk tinggal?"
"Ada. Pasti ada alasan."
"Cinta? Kau pikir, cinta terus ada jika tak kau pelihara?"
"AKu tidak memelihara sesuatu yang sudah pasti ada."

"Putri, kau tahu? Seminggu lalu aku terbang ke negri sebrang. Heran sungguh aku dibuatnya. Wajah penunggang yang kau sering lukis di kanvas, terpampang jelas di tembok-tembok kota, di kertas-kertas besar...
"Apakah itu pertanda yang kutakutkan?"
"Aku melihatnya. Ia bahagia dan siap dengan pilihannya. Itu berarti kau putri harus segera mengetahui berapa ukuran tubuhmu, lakukanlah..."
"Lalu ada berita lainnya? selain itu?"
"Seorang wanita muda, aku takut jika menyebutkan aku pernah mengenalnya, berpakaian sepertimu, menangis diam-diam di hadapan poster-poster itu...
"Apakah kau sudah menjelma menjadi seorang penguping, dara?"
"Ah kau pasti tersentak mendengar apa yang ia katakan...
"Kau telah berhasil membuatku penasaran. Katakan!"

ANgin menelisik pagi, menyuai embun yang gemelayut. Putri adalah diriku yang sepi, menunggu.
Sebuah rumah bernama entah. ditengah padang runput dengan satu jalan keluar masuk.

Apakah aku siap berjalan sendirian? Tentu jalan yang kulewati akan sedikit berbeda. Menembus belantara bukan ide bagus, tapi satu-satunya. Sebelum penyihir itu datang dan menenggelamkan rumah.
"Tenanglah, aku akan memandumu."
Hatiku seolah berkata.
Sjauhnya kuberjalan, menyusuri jejak-jejak yang tak berbekas, berharap selekas-lekasnya jauh dari rumah.
Hingga gelap itu tiba, ada sedikit takut. Aku memutuskan beritirahat di sana, di bawah pohon akasia besar. Menanti, jika saja ada binatang yang bisa berbicara dan menunjukku arah yang benar.

Gemintang di langit. Dulu saat si penunggang itu menemuinya di pesta dengan sinar yang melimpah. Ia teringat benda angkasa bercahaya. Menunjuki bahwa dirinya tak salah menatap. Ah, menyesakkan.
Tapi cukuplah perjalanan malam ini, sebagai penutup bahwa tatapan tak boleh hanya pada satu arah, harus ada kemungkinan lainnya, kemungkinan yang boleh terjadi sebab yang Maha Kuasa menginginkan itu terjadi.

"Apa yang dikatakan perempuan itu?"
"Ulang, perempuan dengan pakaian sepertimu...
"Apa yang dikatakannya? Mengapa ia menangis?"

"Ia menginginkan sesuatu, yang kau miliki. Tapi aku melihat, kau menginginkan sesuatu yang perempuan itu miliki, kau ingin bebas... Ya lupa aku, kau sudah meredeka!"


Rumahku lenyap, dan diriku lenyap, hanya ada satu pasang mata, mengintipku dari celah jendela, menuliskan nama-nama, dan melupakannya begitu saja.

(Az, 05/12/15)