23 Desember 2014

Berhenti Berharap

Standard
Mengerjakan tugas sambil mendengarkan lagu-lagu lama. Menatap awan, ditengah keramaian, ini? aku banget! 
Perkejaan yang tiada henti.... Come on, santai sekejap dan tersenyum :D
Berhenti Berharap (Shela on 7)
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar di sini
Tersudut menunggu mati

Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Dengan mampu menerangi
Sudut gelap hati ini

Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat

Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan

Aku pulang, tanpa dendam
Kuterima, kekalahanku
Aku pulang, tanpa dendam
Kusalutkan, kemenanganmu

Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukkan aku bahagia

Kau tunjukkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku derita

Aku pulang, tanpa dendam
Kuterima, kekalahanku
Aku pulang, tanpa dendam
Kusalutkan, kemenanganmu

Selamat deh, kamu memang pemenang! Aku sakut! hehehe

10 Desember 2014

Terlahir lagi dengan Lagu Kematian

Standard
Sudah sejak 2 tahun lalu, aku vakum menulis cerpen, dulu masa yang membanggakan mungkin, 2012. saat beberapa kali cerpen-cerpen itu dimuat di media lokal. Ada rasa bahagia, tak percaya, kok aku bisa menulis?

Aku tidak tahu, jariku hanya bergerak, dan kepalaku terus mengayuh, mencari pembenaran atas imajinasi yang tak bisa kubatasi. aku melamunkan diriku sendiri dan melamunkan banyak hal, terutama hal-hal yang memang ingin kusampaikan dengan cara yang tak biasa. katakanlah lagu kematian, cerpen ini telah mengganggu waktu normalku, ia terus menghentka-hentak minta dituliskan.

temanya hanya sederhana: kematian, tapi dibalik kematian itu aku ingin menyampaikan betapa banyak mati yang konyol sia-sia, padahal untuk sebuah nyawa kita rela membayar jutaan di rumah sakit yang tiada segan menarifkan harga tak kira-tanpakasih.

lebih jauh, aku menyindir diriku sendiri, yang kere dengan karya, aku tak menghasilkan apa-apa, tidak sebuah cerita bahkan tidka pula uang.

Lalu, aku terus menulis saja sesukaku, merasa terlahirkan. Adapun ide utama tentang Bunda, adalah nyata. Beliau adalah sahabat dari emak yang amat kusayangi yang teah terebih dahulu berpamit 1 Agustus lalu. Bulan ini, hari ibu, aku ingin menulis cerpen lagi tentang ibu, tentang ibu, mungkin setelah lagu kematian ini, aku akan menulis lagi cerpen yang lainnya, Ibu, Jas Hujan, Nun, kebun bayam, sampai skripsi yang tak kelar.

Seorang cerpenis mestilah humanis, aku hanya berusaha mewujudkan itu, biarkan aku menajdi hujan, atau api, atau udara, atau tanah, dan menyatulah diriku dalam kara-kata.

Untuk hidup yang tak boleh biasa, aku kembali akan menulis cerpen, aku akan hidup dengannya, bermesra dengannya. Mungkin, jika tak bisa denganmu, aku bisa menuliskan satu nama dalam cerpenku, semauku bukan? dan nama itu kupinjam sebagai seseorang.

Selamat lahir lagi Az.
Biarkan lagu kematian sebagai penghantar, karena kematian hanyalah awalan, bukan?

LIFE is WAY

Standard


Jika hidup ini sebuah cermin, lantas isyarat apa yang mampu menyiratkan hidup, bahwa kehidupan adalah sosok kita… atau… sesosok kehidupan adalah penampakan dari wujud kita yang telah terpantulkan melalui lembaran-lembaran perjalanan… Maka, jika hidup ini sebuah cermin, seharusnya kita lebih mengerti dan memahami hidup apa dan bagaimana yang telah dan akan dilalui, agar mampu menempatkan diri padanya. Maka, bila hidup ini layaknya sebuah cermin, seharusnya kita dapat bersentuhan lebih dekat padanya, agar kita mengetahui dengan jelas benar, segala kekurangan yang terpantul dari cermin itu. Namun sayang, kita sering mengangap jika hidup adalah cermin cembung yang melebih-lebihkan kekurangan dan mengurang-ngurangkan segala kelebihan yang kita miliki. Atau…. Kita sering menganggap bahwahidup ini adalah cermin cekung, yang selalu memberikan kekecewaan pada apa yang dipantulkannya.dan menganggap cermin kehidupan….adalah wujud yang lari dari kenyataan.
Bismillah adiku semua, Assalamualaikum wr wb… Ahlan wa sahlan di kampus tercinta UPI Tasikmalaya ini. MOKAKU adalah langkah pertama dari sebuah babak juang yang akan ditempuh, empat tahun mendatang engkau akan selalu berada di sini, menuntut ilmu, mencurahkan segenap kemampuan, dan mencari jati diri yang sebenarnya, sebelum akhirnya kembali ke masyarakat sebagai pribadi baru yang diliputi oleh ilmu, yang dituntut menebar manfaat dan bersinergis dengan berbagai kepribadian manusia yang berbeda-beda.
Adikku , kita kembali pada perjalanan awal, sebagai sebuah titik awal perjuangan, sudahkah kita luruskan niat? Mengapa engkau berada di sini? Di UPI Tasik ini? Ya, percayalah ini bukan kebetulan, ini bukan tanpa perjuangan, ini bukan sekedar salah memilih, salah contreng, atau paksaan orang tua, semua ini adalah…. Ya ini adalah kehendak Allah, atas ijin Allah, atas iradat Nya kita berada di sini. Lalu, apa yang diinginkan Allah dari kita sehingga mentakdirkan kita berada di UPI Tasik ini? Benar adikku, Allah menghendaki kehidupan terbaik dari diri kita. Luruskan niat, jika semata-mata kita di sini adalah untuk mencari ilmu agar mendapat Ridho Allah Swt, untuk memperbaiki kualitas diri, untuk menjadi hamba Allah yang lebih bermanfaat untuk orang lain, dan berbagai niat baik lain…
Ah selamat memulai perjalanan adikku, tetap bawa dan gunakan Kompas Al-Quran sebagai penunjuk jalan, Allah telah menyiapkan segalanya di sana. Sertai langkah kakimu dalam Jemaah yang soleh dan salihah, karena mereka adalah pengganti dan pemotivasi jika kakimu mulai kendur, jika kepalamu mulai pening… dan Jemaah yag akan sealu memngingatkanmu akan tujuan perjalan kehidupan. Ohh iya adikku, bawalah selalu cermin.. bercerminlah dari kehidupan manusia di sekitarmu, agar hidup selalu penuh dengan kebaikan.
Andai kita mampu melihat cermin kehidupan kita seperti cermin datar… yang setiap hari kita berkaca padanya, melihat noda hitam di wajah dengan jelas, dan pelan-pelan menutupnya dengan polesan bedak atau sekedar lotion, bukankah itu lebih mudah? Berapa kali kita bercermin untuk sekedar memperindah penampilan jasad? Namun, ketika itu, sudahkah kita bercemin pada kehidupan?
Menutupi kesalahan  dengan amal soleh yang kita perbuat, dan menjadikan kelebihan sebagai jalan untuk dekat denganNya seperti yang setiap hari kita lakukan. Sudahkah?
Atau jangan-jangan, ya mungkin memang KITA MALU UNTUK MELIHAT segala kekurangan kita, melalui cermin kehidupan yang ada di depan mata…. 
 
 (Az., 29/08/14)