23 Januari 2014

Annisa Zahraa: Hanya Catatan Perjalanan (Tasikmalaya-Bandung)

Standard


Kuawali catatan perjalananku ini dengan sebuah ungkapan luar biasa, dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra, yang kunukil dari prolog: Buku 99 Cahaya di Langit Erofa:
Wahai Anakku!
Dunia ini bagaikan samudra, tempat banyak ciptaan-ciptaan-Nya tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah.
Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu.
Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nakhoda perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaaan.

Bimillahirohmanirrohim, akhirnya secuil pengalaman ini kutulis juga. Januari, 2014 hari ke-22 kami diharuskan –dengan tepat waktu- tiba di Gd. UC-UPI Bumi Siliwangi, Setiabudhi-Bandung, untuk urus-mengurus sebuah program kemahasiswaan. Program berupa bantuan dana kepada para mahasiswa untuk bisa berwirausaha. Kami berenam –semua perempuan; penulis, Jenie, Intan, Erma, Nida, Anggi- dari kampus daerah –Tasikmalaya- termasuk kedalam para mahasiswa yang mendapat amanah dan anugerah itu.
Baik. Perjalanan kali ini seperti perjalanan yang super duper berat, padahal tidak ada yang berbeda, Tasikmalaya-Bandung ditempuh 4 jam dengan naik Bis Budiman, lazimnya memang begitu. Usut punya usut ternyata bukan aku saja yang merasa begitu tertekan, teman yang lain-pun merasa demikian.
 Bagaimana tidak, biasanya perut tak pernah berkontraksi sedemikian dahsyat.
Jam tiga subuh sang alarm sudah berbunyi, sahabat satu kamar sudah lebih duluan bangun. Beliau tengah menunaikan salat malam.
Pagi yang dingin, langsung beres-beres –packing- mempersiapkan segala keperluan disana, catatan plus pena, notebook plus charger, beberapa dokumen penting, buku-buku bacaan, dan obat pribadi.
Memang diakui, penyebab terasa berat perjalanan kali ini adalah: Tidak sempat makan atau minum sebelum berangkat -jadilah masuk angin. Teman-teman yang janjian denganku sebelumnya untuk berangkat bersama sudah menghubungi berkali-kali, bahkan tellphone “Teh lagi dimana, Teh lagi dimna?”
Oke, jam 05.00 aku baru berangkat dengan techno merah menjemput dua teman-Jeni dan Erma. Baru saja 15 meter keluar dari kostan, ups! Lupa gak pakai kacamata, pantesan aja dunia terasa muram, aku terpaksa balik lagi. Kasihan mereka nunggu, seperti biasa kami deti-dempet tiga- bukan sengaja biar dibilang cabe (hehehe). Kami langsung menuju full budiman-Indihiang.
Untuk teman-teman yang bawa motor ke full budiman, tidak usah takut dan risau. Ada penitipan khusus motor disana. Di belakang full ada sebuah masjid. Nah, disanalah biasanya aku titipkan motor. Ditukar dengan sebuah kartu kuning yang kecil.


Jangan lupa kuncinya dibawa. Nanti jika pulang kita tukar lagi kartu kuning ini (makanya jangan sampai hilang) dengan motor kita, tentu dengan membayar uang keamanan Rp 4000,- saja. Itu tarif normal, jika melebihi batas satu hari tarif tidak berlaku lagi, dan disesuaikan.
Oke, kembali ke mengapa perjalanan ini teramat berat.
Sebelum menginjakkan kaki dilantai bus, kami berlima sempat membeli makanan untuk menyuap sang perut agar tidak demo pagi-pagi. Kecuali seorang teman karena ia telah membawa perbekalan makanan dari kostnya.
Namun nahasnya, suasana bis tidak membuatku bernafsu untuk menelan satu pun makanan yang dibeli. Kemudian teman satu jok –Dik Jenie- menawariku roti, dan happ nyam nyam langsung dilalap habis.  Satu jam kemudian terasa perut berkontraksi, mungkin juga karena efek melihat layar handphone, ada beberapa pesan masuk dari keluarga dan teman yang mendoakan.
Heum, sampai ketika seorang teman mengirim pesan katanya “Bawa keresek gak?”
Alamak!
Ha, benar biasanya kami selalu saling mengingatkan untkuk bawa keresek jika bepergian, kalau-kalau…., sedia keresek sebelum meletus, hihi.
Coba ditidurkan. Aih setelah ditidurkan pun tetap terasa seu-isi perut mau keluar. Tahan-tahan. Ditambah udara dingin menusuk-nusuk, sang Air Condition sukses mempercepat kontraksi.
Tiba-tiba bapak kondektur menyapa kami, seperti biasa tiket bis dibeli dan dibayar langsung di dalam, Tasik-Bandung dengan AC Rp 30.000,-, jika tanpa AC Rp 25.000,-. 

Hanya beda sedikit, dengan resiko besar. Tanpa AC, biasanya akan ditemukan banyak perokok di dalam bis, dan itu sangat menjengkelkan dan menyebalkan-bagiku. Jadi hitung-hitungan Rp 5000,- itu bukan untuk bayar angin semata, bagiku lagi- itu juga kompensasi keselamatan diri dari asap rokok yang menyesakkan dan mematikan.
Setelah bapak kondektur berlalu. Oke. Dengan merubah posisi duduk, aku berusaha untuk menahan rasa mual yang mulai merangsek tak terkendali. Datang lagi si mual ini. Oh jangan sekali-kali saat kau mual melihat ke lantai bis, itu hanya akan jadi petaka, tengadahkan kepalamu dan pejamkan!
“Dik, mual banget.” kataku pada Jenie dengan tersendat.
“Ini Teh, “ katanya sambil menyodorkan keresek hittam. Hahahha… amat sangat pengertian.
Kuambil dan kupegang dengan kuat, ya Allah apa aku akan muntah? Hoek..hoek.. aku terbatuk, sudah sampai ketenggorokan, kutelan lagi, ah! Pejamkan mata ayo, keringat dingin mulai keluar. Cepat –cepat kuambil minyak angin dan dioleskan pada kening leher dan perut tentunya, kontraksi mulai sedikit mereda, aku tidak bisa bergerak, kaku diam dan kemudian memutuskan untuk menutup mata- sementra, pura-pura tidur-sampai pulas!
Nah Az, selamat tertidur nyenyak.
Semua orang pasti pernah mengalami perjalanan bukan? Coba acungkan tangan yang gak pernah naik bis? Gak ada yang mengacung, kecuali tarzan.
Meskipun perjalanan kadang membuat bosan, bikin perut mual-bagi yang jarang bepergian, biasanya- sangat menjengkelkan apalagi jika jauh dan ditambah macet. Check these out, buat kamu ada beberapa tips supaya perjalanan lebih indah untuk dinikmati daripada sekedar bengong:
1   1. Tidur, ini dia pilihan favoritku. Kekekeke, untuk beristrahat, apalagi jika kondisi badan tidak baik, seperti sekarang. Daripada menggerutu dan sebagainya, lebih baik tidur dan jangan lupa minta perlindungan Allah, siapa tahu saja pas kita tidur ada hal yang tidak baik. Kita mohonkan pada Allah untuk menjaga kita, menjaga barang bawaan kita dan menjaga pandangan orang ke kita.
      2. Baca buku, pilihan ini tentu saja cocok hanya apabila kondisi jalannya lurus dan tenang. Jangan coba-coba deh baca buku saat situasi tidak terkondisi seperti perjalanan berkelok-kelok, atau jalan bergelombang. Karena selain bisa bikin mual, juga merusak mata. So, jika perjalanan tenang, mobil melaju seperti tenangnya salju turun, atau keadaan sedang macet dan mobil yang kita tumpangi bagaikan siput yang kelelahan, kita bisa baca buku- tetunya buku yang kita sukai.


3 3. Baca Almatsurat atau dikir sebanyak-banyaknya, perjalanan menyimpan banyak kemungkinan-kemungkina yang tidak terduga, bisa saja bukannya kita sampai ke tujuan melainkan malah ke kuburan atau rumah sakit, naudzubillah. Mengingat Yang Maha Kuasa terasa jauh lebih menenangkan, dengan memohon perlindungan padanya.  Berdzikir pun bisa dilakukan sambil mentadaburi pemandangan yang kita lihat di sepanjang perjalanan, sambil mendoakan semua yang kita lihat, melihat padi kenapa tidak kita mendoakan semoga padi itu berkah. Melihat orang yang berjalan, kita doakan orang yang tengah berjalan itu suatu hari punya motor atau mobil, atau semoga mereka selalu bahagia dan berada di jalan Allah. Mengasyikan deh!


    4. Mendengarkan music. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan dengan menggunakan headseat, agar tidak mengganggu orang lain. Pilihlah atau setting handphonenya, dengan diisi oleh lagu-lagu yang kamu sukai, nasyid missal, pastikan daya baterainya masih cukup, dan nikmati perjalanan ini dengan sekali-kali memejamkan mata meresapi ketenangan dari syair lagunya, dan alangkah akan lebih berpahala jika yang di dengarkan adalah ayat-ayat Al-Qur’an. Sekalian menghapal atau muraja’ah kan? Atau solawatan.
     5. Tips lainnya menyusul ya, atau silahkan berkreasi, missal makan atau jailin teman, atau chatingan. Tergantung kamu! Asal tidak berbahaya, dan pastikan bermanfaat.

Kami tiba di terminal Cicaheum untuk kemudian melanjutkan ke Setiabudhi dengan naik angkot jurusan Caheum-Ledeng. Hiruk pikuk terminal tenyata masih memiliki hati, saat syal merahku terjatuh semua orang yang ada di sana memperingatkanku “Neng, Neng, syalnya jatuh….” Subhanallah mereka semua baik. Namun tiba-tiba jantung rasanya copot, saat mau masuk ke angkot ada seorang bapak-bapak tua mendekat dan bertanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku, “Kenapa Neng sedih?
Subahanalloh euh astagfirulloh kaget bener, “Enggak Pak.” jawabku singkat sambil cepat-cepat menjauh dan slebbb masuk ke angkot.
Angkot tidak lama menunggu seperti biasanya, karena angkutan sudah penuh. Kini ia melaju dengan tenang, Wilujeng sumping, selamat datang di Bandung!
Sang perut sudah tidak lagi mual.
Tiap lampu merah kami disuguhi lagu-lagu. Caheum-Setiabudhi, sudah 3 orang pengamen yang kami temui.  Alhamdulillah deh, meramaikan perjalanan. Ada seorang pengamen suaranyanya “cukup menyakitkan” tapi lagu yang dibawanya nyep ke hati:
Opik-Bila Waktu.
Lagunya clebb banget. Berasa sedang naik onta terbang, dunia ini tak ada apa-apanya, andai angin ini menghembuskanku tiba-tiba, aku bisa saja lenyap seketika. Ya Allah.
Sepuluh menit kemudian dilampu merah terakhir, dua orang laki-laki bernyanyi kembali, suaranya keren, mirif Judika, sayang lagunya :lagu patah hati. Tapi nikmati saja-lah.
Melihat pengamen aku jadi teringat artikel M. Aan Mansyur seorang sastrawan, yang artikelnya dimuat di Koran Tempo Makasar. Meskipun memang yang beliau paparkan adalah tentang pengemis, tapi kasusnya tak jauh berbeda dengan kisah pengamen. Kini pemerintah telah membuat peraturan, “Pengemis dan pengamen jangan dikasih uang, agar mereka mau diberdayakan”. Rasanya jadi dilemma.
Ah, pemerintah lebih tahu mungkin, bukankah mereka dipelihara oleh Negara? Mengapa juga harus kata “pelihara”, mengapa tidak kata mereka “dibimbing dan dimartabatkan” oleh Negara. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 sudah waktunya untuk diamandemen. Miskin, ngemis kok dipelihara. Pelihara yang baik-baik saja-lah.

Pukul 10.30 WBBI, kami tiba di kampus tercinta. Haikh tarik nafas dulu, nikmati udaranya, angin di Bandung terasa lebih kencang. Dan hal pertama yang kulakukan adalah mengisi perut. Tentu dengan sebelumnya-setelah lima menitan menikmati udara-, nikmati moment

Aku dan seorang kawan menuju kantin kampus, mencari nasi tentunya!
Siapa kira, ternyata nasi di sini (Kopma UPI) murah sekali, “Silakan ambil sendiri dan bayar disini”.
Saya menciduk nasi secukupnya, dengan sayur belimbing wuluh dan oseng kikil, coba tebak berapa harganya?
“ENAM RIBU!”
Kocek mahasiswa banget-kan, ditambah bonus teh hangat sepuasnya.



Selepas mengisi perut kami langsung menuju Al-Furqon, sedang ada kajian khusus yang dibawakan oleh Imam Beasar Masjid Istiqlal Jakarta, coba tebak siapa namanya. Prof. Dr. K. H. Ali Mustafa Yakub, MA. That’s right!
Biasa sambil mendengarkan ceramah, saya sambil nguntrek bikin catatan perjalanan. Temanku yang lain menunaikan solat dhuha. Mantap!
Hei ternyata, habis kajian ada makan gratis!!!!! Kami pun bersiap-siap makan gratis, dengan  malu yang ditekan sekuatnya. Hahay, kami berdua –penulis dan Jenie- saling menunjuk siapa yang akan duluan ngambil. Namun tiba-tiba kami punya ide, “Gimana kalo sepiring berdua?” Dan terpilihlah diriku untuk menjadi kandidat sebagi pengambil makanan, dengan pesanan yang gileee kurang ajar banget! “Teh ambil semuanya DUA ya….”
Aku berdiri dan siap mengantri, tapi “Hahahha, malah balik lagi, gak kuat mental nih..”
Jenie tersenyum atau bahkan tertawa- menertawakan tingkahku yang aneh ini.
KITA GAK KUAT MENTAL.
Akhirnya seperti puisi “Pita Hitam”, kami anak kecil dengan langkah malu-malu datang mendekati meja untuk mengambil beberapa makanan. Horay, kuat mental juga kita, benar sekali konsep “Bersatu kita berani, ber-sendiri-sendiri kita pengecut”. Kami memutuskan untuk hanya mengambil sop buah saja, ah malu kalau ngambil nasi dkk, hihihi (tetep aja pemalu). Sop buah dengan menu nanas matang yang manis, bengkoang cuek dan sedikit papaya ini, masuk ke perutku dengan sensasi dingin luar biasa. Udara dingin di Al-Furqon lantai 2 ditambah sop buah dingin, benar-benar bikin gigi rontok dan bulu-bulu kaki berdiri.


Tak lama kemudian adzan dzuhur berkumandang. Lets pray dzuhur!
Selepas solat dzuhur, kami langsung menuju gedung pertemuan, Gedung UC lantai 5, sudah ditunggu oleh Ibu administrator, dengan sebelumnya sempat salah lantai-malah lantai 3- hihihi.
Pas masuk, hap kami telah disediakan konsumsi. Benar-benar konsumsi yang menggiurkan lidah. 

Mungkin ini hikmah malu tadi, Allah menghendaki kami makan dengan tingkat lapar yang pas agar bisa menikmati santapan lezat ini. Makan siang pikirku!
Makan-makan.
Acara berlangsung, aku berkutat –dengan gaya autis- mengisi kuisioner sampai pada namaku disebut dan harus maju ke depan untuk mengambil tabungan mandiri dan atmnya atas namaku.


Wow!
Program Mahasiswa Wirausaha (PMW), dananya akan segera cair, dan tentu saja kami berenam harus mulai focus dan merubah diri-MEMANTASKAN DIRI- menjadi seorang Job Creator! Wirausahawan! Entrepeneur! Pebisnis! Atau apalah. Ya Allah, mudah-mudahan kami bisa! Ini amanah, dan Allah percaya, kita mesti yakin, kita mampu!
Acara ditutup jam 14.00-an dengan foto bersama dengan wajah yang penuh percaya diri.

Perjalanan belum berakhir, sehari ini masih panjang.
Aku dan Jenie sebelum pulang memutuskan untuk mampir ke Kaffa-Geger Kalong-DT, sebuah toko gamis dan kerudung. 


Melihat-lihat saja, dan memutuskan hanya membeli kerudung panjang yang harganya Rp 30.000-an.
Tiba-tiba adzan ashar berkumandang, tidak terasa ya. Kami memutuskan solat di masjid Darut-tauhid, setelah selesai beli dulu obat magh dan jus manga. Kemudian kami langsung jalan kaki dan meyetop sebuah angkot. Menyeberang jalan sore-sore di kota besar seperti Bandung, sulit sekali!
Kami terkantuk-kantuk di sana di dalam angkot. Aku merasa tidak nyaman mungkin karena -sebelumnya aku telan obat mugh- keringat dingin keluar yang membuat lengket, meski begitu rasa bosan telah menyulap kami sampai tidak sadar tertidur dengan seperti kera dibius di dalam baja berbaju hijau. Lelap sekali! Ping!!!
Terbangun saat terminal caheum di depan mata, tepat!
Kami naik bis Budiman lagi, di dalam sana penumpang belum padat dan KAMI bersiap meluncur lagi menuju Tasikmalaya. Kota yang kami rindukan untuk segera mengembangkan bisnis! Aamiin, semoga.
Sampai di full-Bud jam 21.30 WBBI, dengan keaadaan pucat pasi -teman kami ada yang sukses berat- muntah! Hihihi, aku juara kedua mungkin dalam hal ini, meskipun hanya sampai tenggorokan dan kembali lagi ke lambung, tapi keadaanku sangat payah, lebih payah dari yang muntah! Pelajaran baru: “Orang yang tidak berani mengeluarkan unek-unek akan lebih payah ketimbang orang yang unek-uneknya dikeluarkan”.
Heum, perjalanan ini cukup melelahkan, aku berharap ada banyak hal yang akan aku lakukan lagi, dan kuceritakan bersama.
“Seperti halnya awan tak pernah alpa mengesankan langit. Aku berusaha mengesankan hari dengan catatan.”
Az.

2 komentar:

  1. Salam., saya Agus Ramelan , PMW juga. Manteb ceritanya, , oh. mampir juga ya ke Blog ane : masramdahsyat.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Wsalam. Salam semangat PMW, oke saya mampir dah.

    BalasHapus