11 Januari 2014

De Heart 4ever (Annisa Zahraa)

Standard


(Tulisan ini hanya fiktif belaka, jika ada nama dan tempat yang sama itu bukan kebetulan, hehe)

“Kisah sang mantan? Are you sure?”
Rasanya ingin bungkam, namun anggukan kepalaku lebih dulu memberi jawaban. Sial sungguh, wajahku memerah. Bagaimana tidak, ini diluar dugaan.
“Tapi, kamu siap? Bagaimana dengan yang telah hilang?”
Pertanyaan merentet, seolah tak percaya. Mungkin sama halnya dengan hatiku, tak percaya jika aku bisa menjabarkannya.
Mantan, kata apakah itu? Familiar seklai sepertinya. Bagiku Ia seperti anggur, manis namun memabukkan. Ada ruas rasa yang sulit memberikan batasan tentangnya, tentang suatu masa, masa lalu yang ingin hilang dan kubuang. Ada beban maya yang menghimpit dan memaksa otakku mengulang rekaman di sepanjang tahun itu. Teramat berat untuk diungkapkannya, mungkinkah ini bisa dijelaskan. Darimana awalnya? Bagaimana semuanya terjadi? Bagaimana akhirnya? Waktu terlalu cepat berlalu hingga aku tak sadar diri, ia meninggalkanku dan melepaskannya begitu saja seolah tak memilki arti sama sekali. Perasaan yang terpendam itu kini merana bak pohon di musim kemarau, meminta penguraian, pengakuan, dan memaksaku mengatakan segalanya. Mengatakan mantra seperti waktu itu. Disebuah sore, hujan turun terus menerus, mengguyur bumi bagian selatan kota “T”. Ada air mata yang sama terurai, tangisan yang tak bisa lagi ditahan-tahan. Betapa kejam kenyataan ini. Bagaimana bisa aku masih menyimpan nama dan raut wajah seorang dia, sedang keadaan kita semakin jauh dan beda.
“Hei, jadi nggak ikut lombanya?” Ia membuyarkan lamunan, namun jari-jariku menjadi jawaban, ia tersenyum. Entah terharu atau terenyuh, air hangat meleleh di dua lembah yang tipis. Aku malah menangis sambil menulis.
Alunan musik masa dulu memaksaku untuk menikmati hal-hal yang menyakitkan. Memberikan peta lengkap tentang alur-alur yang pernah terlewati berdua dengan detail dan rinci. Ah, tentang keadaan kita kini yang tak pernah bisa lagi mengenal satu sama lain, walau hanya sekedar untuk bernostalgia. Senja itu telah datang dan pemikiran kita telah terlalu kolot untuk mencerna. Perasaan kita telah dikotomiskan oleh keegoan masing-masing. Dalam hal ini aku sering lebih merasa bersalah, dipihak yang kalah dan tersudutkan.
Senja tolong jelaskan padaku bagaimana ini bisa membuang hasrat yang pada mulanya begitu membara?
Bipppp… aku menurunkan monitor laptopku, yang bertanya telah kubungkam, layarnya menciut tiba-tiba. Menutupnya tanpa mematikan, sadisme seperti kisah tanpa tokoh. Kisah sebuah pesan tiga kata di sore yang dingin.
***
12 April 2008
Hujan sore lagi-lagi, gemericiknya turun dengan deras. Mungkin ia enggan menyombongkan dirinya, meskipun dingin ia tetap berbagi, menggulung awan mberkawan angina ia datang membasahi bumi yang kering. Aku duduk bersidekap di teras rumah, cukup lama, hanya untuk sekedar melihat tetesannya yang turun perlahan, satu persatu. Tak ingin ku ulurkan tangan seperti biasanya. Air yang jatuh sore ini begitu berbeda, mungkinkah ia menghadirkan kenangan sebagai rasa rindu yang memalukan. Pengharapan yang hampir pupus. Kulirik handphone kecilku, tak ada satu pesan pun yang masuk. Gelisah tepatnya, hari-hari yang berlalu itu, telah menyita perhatianku, mereka mengadakan  sebuah kata kesepakatan: ada rasa suka yang menyelinap. Apakah ini pertanda, aku merasakan sihir aneh? Dag dig dug, dag dig dug.
Hai hati, mengapa kamu tidak seperti biasanya? Hei bibir, mengapa kamu tersenyum sendiri? Jika jawabannya karena tadi pagi ia memberimu sebuah senyuman, kamu kena sihir. Dan aku semakin tidak peduli.
Ah aku tak bisa berpaling dari ingatan itu, tersiksa, dan amat menyebalkan!
Kurengkuhkan tanganku pada cipratan-cipratan air yang terpantul dari keramik ujung teras, titiknya begitu bening dan dingin. Menggelincir diantara jari-jari kecil yang mungil. Menggeliat-geliat meminta perhatian. Meskipun nyata-nyata perhatian ini tersita hanya untuk seseorang yang memberi teka-teki tadi pagi, seperti yang kukatakan. Dugaan pertamaku tak meleset, akhirnya aku tak bisa bertahan lama, kubuka kedua tanganku lebar-lebar, air yang tergelincir dari atap sana tertampung di telapak tangan dengan segera. Seperti ketidaksabaranku untuk tahu, mengapa ia tersenyum? Sebelumnya ia tak pernah mengijinkan hatinya tersentuh. Temanku yang mengatakan begitu.
Kugenggam percikan itu erat dan kuat. Bodoh, semakin aku merasa ingin memilikinya semakin deras air yang tumpah, ruah menyingkap, berlari terbirit dari tanganku. Juga semakin aku biarkan tanganku terbuka, ia bebas dan lepas gembira, sama-sama lari terbirit dan menjauh. Begitu pulakah dia? Seperti air yang tipis dan belakangan kutahu ia tanpa sebuah satuan pasti, persis bintang dilangit atau pasir digurun. Ah air dan telapak tangan, bagaimana bisa setiap orang memaknainya berbeda.
Ku ingin kau tahu diriku disini menanti dirimu. Meski kutunggu hingga ujung waktuku dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya….
Mengapa harus lagu ini yang terdendangkan? Kata-kata kutukan pembuka gerbang kepedihan masa lalu, ketika kamu bilang, “Aku tak seindah yang engkau bayangkan. Seandainya pun aku jadi milikmu, aku tak akan bisa membahagiakanmu, maaf…”.
Ya Tuhan, atas namaku Yulia Klaramifa, rasa malu dan terhina itu menjelma bak terror. Aku mengakui keadaan diri yang menyedihkan: seorang pengecut yang berdusta untuk sekedar mengakui sesuatu perasaan yang sulit terjabarkan. Hanya menunggu tanpa merasa perlu untuk mengutarakannya lagi. Setiap hari merasa bosan, sembunyi dan menutup diri. Malu jika mengakui: cintaku bertepuk sebelah tangan. Begini dan begitu, diam dan hening terus terjadi berulang dengan pola-pola tertentu seperti aksioma dan teorema yang senada tapi berbeda. Ingin rasanya menyalahkan seseorang atas kebosanan dan keheningan ini, tapi…
Drrrt…drret…drret… Pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Segera kusudahi permainan ini, air-air kecil yang menjilati jariku enyah entah kemana. Pikiranku yang teramat kacau telah kembali. Betul saja sebuah pesan itu masuk, mengagetkan, melonjakkan ubun-ubunku, mata ini sampai menjadi umi, tak bisa membaca jelas apa yang ada digenggamanku.
+62852237096**
 “#*&  #@*&  ^#@#$”
Yah, hanya tiga kata itu saja isinya, namun efeknya begitu dahsyat. Aku umpama tersengat listrik, bergetar dan tak bisa menyembunyikan lagi kebahagiaan. Melonjak-lonjak seperti anak yang baru dibelikan mainan. Karunia ini begitu jarang, setelah lima bulan lalu aku tersedak dengan keputusan kerennya “HQJ (High Quality Jomblo)”. Apakah dia berubah pikiran dengan cepat? Begitu saja, ada yang mengalir pelan tentang pesan-pesan impianku. Pesan yang telah kurancang jauh-jauh hari, kini deras menghujamnya penuh perasaan. Dia tersenyum manis sekali. Cahaya, mataku menangkap ada sayap-sayap putih dari punggungnya terbentang dengan lebar, kini mendekat dan menggenggam hatiku, membawanya terbang membumbung meliuk-liuk menuju sebuah Dunia Baru. Dunia tanpa hujan sore, dunia tanpa kemustahilan. Dunia yang tak kusadari jika dimasa datang akan menjadi sebuah penyesalan.
Ada janji yang terucap sejak itu. Begitu mudah melihat kedepan. Pelangi menghias langit. Ada cerita dan harapan tentang mau bagaimana kita diesok hari. Tatapan malu-malu satu sama lain, hendak berkata namun tak berbentuk suara. Kita saling menegarkan diri untuk bisa melihat cahaya pada mata masing-masing. Menggetarkan, sangat menggetarkan.
***
05 Maret 2013
Berulang kali. Banyak kata yang telah kuketik, tiba-tiba saja menghilang tanpa sejarah. Misterius, seperti inikah cara terbaik mengenangmu? Cerita kita ini telah kuketik sejak dulu sampai kini, namun selalu nampak tak berbekas. Tekanan jariku pada tombol backspace tak bisa dihentikan. Hapus lagi, ketik lagi dan hapus lagi, lagi, lagi dan kembali. Mencari kata yang tepat untuk mengurai kalimat, menjelaskan kisah terindah. Tak ingin ada kata yang terlalu kasar, tak ingin ada kata yang terlalu melankolis. Rasanya terbebani ketika akhirnya terlukis sebuah catatan pincang tentang hubungan yang tak pernah ada pada kenyataan. Maaf, kenyataan maya itu hanya masalalu yang terasa lebih indah sungguh daripada tulisannya.  Seperti hubungan kita dulu mungkinkah seperti sebuah tali tersimpulkan pada dua kemungkinan: putus nyambung, nyambung putus, tak henti-henti seperti itu, alangkah terasa lebih nikmat dikenang daripada lurus dan membosankan. Masalalu dan cerita masakini.
Kubantingkan handphone kecilku, ragu-ragu untuk mengirimkan tiga buah kata. Kata yang menjadi kunci untuk membuka cahaya dimatamu, masalalu yang begitu indah. Ah kata kunci itu. Antara “ya” atau “tidak”. Andai pesan ini sukses terkirim, aku harus siap menanggung segalanya. Tidak. Aku masih belum siap. Jika saja saat ini ia masih ada, nada-nada sumbang ini tak akan kudengar. Andai saja ia masih hidup, jari ini tak akan menangis menuliskannya. Ia telah mati bagiku, bukan hanya menghilang sebentar untuk akhirnya kembali. Tak ada harapan untuk membuat pelangi tanpa hujan dan cahaya.
“Kirim saja, harus berani!” ada seseorang yang membisik, aku terpejam dan berusaha untuk mengindari pengaruhnya.
Ah rasanya begitu tenang ketika akhirnya kuputuskan tak akan pernah memberi kata untuk jiwa yang telah mati. Ada penyesalan, ada kepasrahan, ada kebahagiaan, ada cemburu, ada rindu. Penyesalan ini bukan karena kekecewaanku akan pelangi yang tak kunjung hadir, namun karena tak membiarkan pelangi itu terhapus awan. Meskipun begitu ia telah memberi banyak warna. Cokelat. Ya cokelat yang kita padu, manis.
Ada sms, ada sms, ayo buka, ayo buka…
Nada yang sengaja ku set pertanda jika ada orang yang memberiku sebuah memo. Klik!
+628522370964*
“De Heart 4ever”
Mataku menegang, pipiku memerah, denyut ini tak bisa kukendalikan. Bluaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr! Jiwaku pecah. Kulirik jam dinding. 03.55. Udara masih dingin, membelai-belai butiran aneh. Kuseka keringat basah dikeningku.
Mimpi, begitu indah!

*Kini kusadari, bahwa kenangan ada bukan untuk dibunuh atau disalahkan, melainkan untuk dijadikan pelajaran. Bahwa mencinta itu jangan dipaksa, biarkan ia dalam hatimu mengalir dengan sederhana, sampai ia bertemu dengan seseorang di muara takdir dan  berpadu di samudra rindu yang tak berujung.
Tuhan tahu, ia hanya menunggu. (Andrea Hirata)


Biodata Penulis:
Annisa Zahraa adalah nama pena dari Eli Nurlela Andriani, lahir di Tasikmalaya 08 September 1992. Lahir dari pasangan yang bahagia Bapak Odong (Alm) dan Ibu Oom. Sekarang tengah menuntut ilmu di UPI Tasikmalaya, dan aktif berkecimpung di Area Komunitas Seni Sastra (AKSARA). Penulis Novel “Daun Subuh dan Gerimis”, motto hidup: Hanya ikan mati yang tak bisa melawan arus.

2 komentar:

  1. wah menarik teh :), agak mirip2 gituu hehe
    seklai mungkin mksudnya sekali y teh, hehe :)

    BalasHapus
  2. Oke mirip siapa dik :) hahaha
    Iya sekali maksudnya.

    BalasHapus