(Tulisan ini
hanya fiktif belaka, jika ada nama dan tempat yang sama itu bukan kebetulan,
hehe)
“Kisah sang
mantan? Are you sure?”
Rasanya ingin
bungkam, namun anggukan kepalaku lebih dulu memberi jawaban. Sial sungguh, wajahku
memerah. Bagaimana tidak, ini diluar dugaan.
“Tapi, kamu
siap? Bagaimana dengan yang telah hilang?”
Pertanyaan
merentet, seolah tak percaya. Mungkin sama halnya dengan hatiku, tak percaya jika
aku bisa menjabarkannya.
Mantan, kata
apakah itu? Familiar seklai sepertinya. Bagiku Ia seperti anggur, manis namun
memabukkan. Ada ruas rasa yang sulit memberikan batasan tentangnya, tentang
suatu masa, masa lalu yang ingin hilang dan kubuang. Ada beban maya yang
menghimpit dan memaksa otakku mengulang rekaman di sepanjang tahun itu. Teramat
berat untuk diungkapkannya, mungkinkah ini bisa dijelaskan. Darimana awalnya?
Bagaimana semuanya terjadi? Bagaimana akhirnya? Waktu terlalu cepat berlalu
hingga aku tak sadar diri, ia meninggalkanku dan melepaskannya begitu saja
seolah tak memilki arti sama sekali. Perasaan yang terpendam itu kini merana
bak pohon di musim kemarau, meminta penguraian, pengakuan, dan memaksaku mengatakan
segalanya. Mengatakan mantra seperti waktu itu. Disebuah sore, hujan turun terus
menerus, mengguyur bumi bagian selatan kota “T”. Ada air mata yang sama terurai,
tangisan yang tak bisa lagi ditahan-tahan. Betapa kejam kenyataan ini.
Bagaimana bisa aku masih menyimpan nama dan raut wajah seorang dia, sedang
keadaan kita semakin jauh dan beda.
“Hei, jadi
nggak ikut lombanya?” Ia membuyarkan lamunan, namun jari-jariku menjadi
jawaban, ia tersenyum. Entah terharu atau terenyuh, air hangat meleleh di dua
lembah yang tipis. Aku malah menangis sambil menulis.
Alunan musik
masa dulu memaksaku untuk menikmati hal-hal yang menyakitkan. Memberikan peta
lengkap tentang alur-alur yang pernah terlewati berdua dengan detail dan rinci.
Ah, tentang keadaan kita kini yang tak pernah bisa lagi mengenal satu sama
lain, walau hanya sekedar untuk bernostalgia. Senja itu telah datang dan pemikiran
kita telah terlalu kolot untuk mencerna. Perasaan kita telah dikotomiskan
oleh keegoan masing-masing. Dalam hal ini aku sering lebih merasa bersalah,
dipihak yang kalah dan tersudutkan.
Senja tolong
jelaskan padaku bagaimana ini bisa membuang hasrat yang pada mulanya begitu membara?
Bipppp… aku
menurunkan monitor laptopku, yang bertanya telah kubungkam, layarnya menciut
tiba-tiba. Menutupnya tanpa mematikan, sadisme seperti kisah tanpa tokoh. Kisah
sebuah pesan tiga kata di sore yang dingin.
***
12 April 2008
Hujan sore
lagi-lagi, gemericiknya turun dengan deras. Mungkin ia enggan menyombongkan
dirinya, meskipun dingin ia tetap berbagi, menggulung awan mberkawan angina ia
datang membasahi bumi yang kering. Aku duduk bersidekap di teras rumah, cukup
lama, hanya untuk sekedar melihat tetesannya yang turun perlahan, satu persatu.
Tak ingin ku ulurkan tangan seperti biasanya. Air yang jatuh sore ini begitu
berbeda, mungkinkah ia menghadirkan kenangan sebagai rasa rindu yang memalukan.
Pengharapan yang hampir pupus. Kulirik handphone kecilku, tak ada satu pesan
pun yang masuk. Gelisah tepatnya, hari-hari yang berlalu itu, telah menyita
perhatianku, mereka mengadakan sebuah
kata kesepakatan: ada rasa suka yang menyelinap. Apakah ini pertanda, aku merasakan
sihir aneh? Dag dig dug, dag dig dug.
Hai hati, mengapa
kamu tidak seperti biasanya? Hei bibir, mengapa kamu tersenyum sendiri? Jika
jawabannya karena tadi pagi ia memberimu sebuah senyuman, kamu kena sihir. Dan
aku semakin tidak peduli.
Ah aku tak bisa
berpaling dari ingatan itu, tersiksa, dan amat menyebalkan!
Kurengkuhkan
tanganku pada cipratan-cipratan air yang terpantul dari keramik ujung teras, titiknya
begitu bening dan dingin. Menggelincir diantara jari-jari kecil yang mungil.
Menggeliat-geliat meminta perhatian. Meskipun nyata-nyata perhatian ini tersita
hanya untuk seseorang yang memberi teka-teki tadi pagi, seperti yang kukatakan.
Dugaan pertamaku tak meleset, akhirnya aku tak bisa bertahan lama, kubuka kedua
tanganku lebar-lebar, air yang tergelincir dari atap sana tertampung di telapak
tangan dengan segera. Seperti ketidaksabaranku untuk tahu, mengapa ia
tersenyum? Sebelumnya ia tak pernah mengijinkan hatinya tersentuh. Temanku yang
mengatakan begitu.
Kugenggam
percikan itu erat dan kuat. Bodoh, semakin aku merasa ingin memilikinya semakin
deras air yang tumpah, ruah menyingkap, berlari terbirit dari tanganku. Juga
semakin aku biarkan tanganku terbuka, ia bebas dan lepas gembira, sama-sama
lari terbirit dan menjauh. Begitu pulakah dia? Seperti air yang tipis dan
belakangan kutahu ia tanpa sebuah satuan pasti, persis bintang dilangit atau
pasir digurun. Ah air dan telapak tangan, bagaimana bisa setiap orang
memaknainya berbeda.
Ku ingin kau
tahu diriku disini menanti dirimu. Meski kutunggu hingga ujung waktuku dan
berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya….
Mengapa harus
lagu ini yang terdendangkan? Kata-kata kutukan pembuka gerbang kepedihan masa
lalu, ketika kamu bilang, “Aku tak seindah yang engkau bayangkan. Seandainya
pun aku jadi milikmu, aku tak akan bisa membahagiakanmu, maaf…”.
Ya Tuhan, atas
namaku Yulia Klaramifa, rasa malu dan terhina itu menjelma bak terror. Aku mengakui keadaan diri yang menyedihkan:
seorang pengecut yang berdusta untuk sekedar mengakui sesuatu perasaan yang
sulit terjabarkan. Hanya menunggu tanpa merasa perlu untuk mengutarakannya lagi.
Setiap hari merasa bosan, sembunyi dan menutup diri. Malu jika mengakui:
cintaku bertepuk sebelah tangan. Begini dan begitu, diam dan hening terus
terjadi berulang dengan pola-pola tertentu seperti aksioma dan teorema yang
senada tapi berbeda. Ingin rasanya menyalahkan seseorang atas kebosanan dan
keheningan ini, tapi…
Drrrt…drret…drret…
Pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Segera kusudahi permainan ini, air-air
kecil yang menjilati jariku enyah entah kemana. Pikiranku yang teramat kacau
telah kembali. Betul saja sebuah pesan itu masuk, mengagetkan, melonjakkan ubun-ubunku,
mata ini sampai menjadi umi, tak bisa membaca jelas apa yang ada digenggamanku.
+62852237096**
“#*& #@*& ^#@#$”
Yah, hanya tiga
kata itu saja isinya, namun efeknya begitu dahsyat. Aku umpama tersengat
listrik, bergetar dan tak bisa menyembunyikan lagi kebahagiaan. Melonjak-lonjak
seperti anak yang baru dibelikan mainan. Karunia ini begitu jarang, setelah lima
bulan lalu aku tersedak dengan keputusan kerennya “HQJ (High Quality Jomblo)”.
Apakah dia berubah pikiran dengan cepat? Begitu saja, ada yang mengalir pelan
tentang pesan-pesan impianku. Pesan yang telah kurancang jauh-jauh hari, kini
deras menghujamnya penuh perasaan. Dia tersenyum manis sekali. Cahaya, mataku
menangkap ada sayap-sayap putih dari punggungnya terbentang dengan lebar, kini mendekat
dan menggenggam hatiku, membawanya terbang membumbung meliuk-liuk menuju sebuah
Dunia Baru. Dunia tanpa hujan sore, dunia tanpa kemustahilan. Dunia yang tak kusadari
jika dimasa datang akan menjadi sebuah penyesalan.
Ada janji yang
terucap sejak itu. Begitu mudah melihat kedepan. Pelangi menghias langit. Ada
cerita dan harapan tentang mau bagaimana kita diesok hari. Tatapan malu-malu
satu sama lain, hendak berkata namun tak berbentuk suara. Kita saling menegarkan
diri untuk bisa melihat cahaya pada mata masing-masing. Menggetarkan, sangat
menggetarkan.
***
05 Maret 2013
Berulang kali.
Banyak kata yang telah kuketik, tiba-tiba saja menghilang tanpa sejarah. Misterius,
seperti inikah cara terbaik mengenangmu? Cerita kita ini telah kuketik sejak
dulu sampai kini, namun selalu nampak tak berbekas. Tekanan jariku pada tombol backspace
tak bisa dihentikan. Hapus lagi, ketik lagi dan hapus lagi, lagi, lagi dan
kembali. Mencari kata yang tepat untuk mengurai kalimat, menjelaskan kisah
terindah. Tak ingin ada kata yang terlalu kasar, tak ingin ada kata yang terlalu
melankolis. Rasanya terbebani ketika akhirnya terlukis sebuah catatan pincang
tentang hubungan yang tak pernah ada pada kenyataan. Maaf, kenyataan maya itu hanya
masalalu yang terasa lebih indah sungguh daripada tulisannya. Seperti hubungan kita dulu mungkinkah seperti
sebuah tali tersimpulkan pada dua kemungkinan: putus nyambung, nyambung putus,
tak henti-henti seperti itu, alangkah terasa lebih nikmat dikenang daripada
lurus dan membosankan. Masalalu dan cerita masakini.
Kubantingkan
handphone kecilku, ragu-ragu untuk mengirimkan tiga buah kata. Kata yang
menjadi kunci untuk membuka cahaya dimatamu, masalalu yang begitu indah. Ah
kata kunci itu. Antara “ya” atau “tidak”. Andai pesan ini sukses terkirim, aku
harus siap menanggung segalanya. Tidak. Aku masih belum siap. Jika saja saat
ini ia masih ada, nada-nada sumbang ini tak akan kudengar. Andai saja ia masih
hidup, jari ini tak akan menangis menuliskannya. Ia telah mati bagiku, bukan hanya
menghilang sebentar untuk akhirnya kembali. Tak ada harapan untuk membuat
pelangi tanpa hujan dan cahaya.
“Kirim saja,
harus berani!” ada seseorang yang membisik, aku terpejam dan berusaha untuk
mengindari pengaruhnya.
Ah rasanya
begitu tenang ketika akhirnya kuputuskan tak akan pernah memberi kata untuk
jiwa yang telah mati. Ada penyesalan, ada kepasrahan, ada kebahagiaan, ada
cemburu, ada rindu. Penyesalan ini bukan karena kekecewaanku akan pelangi yang tak
kunjung hadir, namun karena tak membiarkan pelangi itu terhapus awan. Meskipun
begitu ia telah memberi banyak warna. Cokelat. Ya cokelat yang kita padu,
manis.
Ada sms, ada
sms, ayo buka, ayo buka…
Nada yang
sengaja ku set pertanda jika ada orang yang memberiku sebuah memo. Klik!
+628522370964*
“De Heart
4ever”
Mataku
menegang, pipiku memerah, denyut ini tak bisa kukendalikan. Bluaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr!
Jiwaku pecah. Kulirik jam dinding. 03.55. Udara masih dingin, membelai-belai
butiran aneh. Kuseka keringat basah dikeningku.
Mimpi, begitu
indah!
*Kini kusadari,
bahwa kenangan ada bukan untuk dibunuh atau disalahkan, melainkan untuk dijadikan
pelajaran. Bahwa mencinta itu jangan dipaksa, biarkan ia dalam hatimu mengalir
dengan sederhana, sampai ia bertemu dengan seseorang di muara takdir dan berpadu di samudra rindu yang tak berujung.
Tuhan tahu, ia
hanya menunggu. (Andrea Hirata)
Biodata
Penulis:
Annisa Zahraa
adalah nama pena dari Eli Nurlela Andriani, lahir di Tasikmalaya 08 September
1992. Lahir dari pasangan yang bahagia Bapak Odong (Alm) dan Ibu Oom. Sekarang
tengah menuntut ilmu di UPI Tasikmalaya, dan aktif berkecimpung di Area
Komunitas Seni Sastra (AKSARA). Penulis Novel “Daun Subuh dan Gerimis”, motto
hidup: Hanya ikan mati yang tak bisa melawan arus.
wah menarik teh :), agak mirip2 gituu hehe
BalasHapusseklai mungkin mksudnya sekali y teh, hehe :)
Oke mirip siapa dik :) hahaha
BalasHapusIya sekali maksudnya.