11 Januari 2014

IRONI CIPATUJAH (Annisa Zahraa)

Standard
“Entah kenapa kau peduli pada kisah ini, apakah hanya untuk sekedar membuang waktu? Menulis karena sensasi gila? Atau engkau sedang menertawai kesialan yang menimpa kepadaku?”

Aku diam saja. Seperti buku, seperti pena, seperti tinta. Ia menatapku teliti dan menyerang bertubi-tubi dengan pertanyaan menohok.
“Sekali lagi. Mengapa engkau peduli, apakah hanya untuk sekedar membuang waktu? Atau engkau sedang menertawai kesialan yang menimpa kepadaku?”
“Aha aku tahu, kamu melakukan ini karena kamu ingin merendahkan harga diriku yang telah hancur lebur?”
“Hahaha….” Ia tertawa. Suara tawanya mengisyaratkan kesedihan yang tak tertanggungkan.
Ia menoleh. Tatapan matanya tajam, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa aku terdiam. Rasa takut telah menempatkan ia pada kasta tinggi dalam pikiranku. Tidak boleh melukai perasaannya. Maka hanya ini yang bisa aku lakukan.
Tak lagi  sekedar menatap, ia berjalan mendekat. Menarik krah baju merahku. Tampak sangat jelas ia sedang marah, ada bola-bola api yang meloncat keberbagai arah, utara, selatan, timur, dan barat lengkap sudah. Lantas ia mengangkatku tinggi-tinggi, hampir melemparkannya kedinding pasir yang tak lama lagi akan menghilang dijilat sepi. Tak ingin kehilangan jawaban, mungkin dia tipe orang seperti itu: kejar sampai dapat!
Sebagai makhluk yang tak mampu berbuat banyak, aku hanya pasrah terhadap apa yang sedang dia lakukan. Tuhan inikah jalan terakhirku? Semakin tinggi ia mengangkatku, aku merasa terkelupas. Apalah daya ini, jika aku hanya sebesar telapak tangan manusia. Jiwaku kini tengah ada dalam genggamnya.
Rupanya ia tak puas hanya sekedar mengangkatku, didekatkannya aku pada matanya yang bundar dan hitam. Getar-getar takut itu mulai muncul, jika telah bernasib begini maka tak ada jalan keluar lain selain diam dan pura-pura mati saja. Atau meminta agar Tuhan segera mengutuk dirinya jadi benda yang tak berperasaan.
Aku pejamkan mata ini kuat-kuat. Bagi bangsa kami, jika ada risau atau terror yang menguasai maka menutupkan mata perlahan adalah obat sekaligus tipuan yang akan menyelamatkan.
“Haha rupanya kau ketakutan? Teruslah tutup matamu kalau kau suka. Kalau kau merasa itu jalan keluar. Namun semakin kuat kau pejamkan, semakin terasa pula bagimu apa yang terjadi. Benar bukan?” bisiknya ditelingaku. Rupanya ia bisa menebak kunci rahasia bangsa kami, ia mampu mendengar kesah celoteh dalam pikiranku. Jika ia bisa membaca hati ini, maka….tolong turunkan aku, sebentar lagi aku bisa mati. Aku tak ingin bernasib sama dengan mereka yang telah mengabur bersama waktu. Aku tak ingin berperan sama dengan mereka yang berjaya atas rapuhnya jaman.
“Lepaskan aku!” Batinku menangis. Ia menyeringai, benarkah ia bisa mendengar semua yang ku katakan?
***
Cipatujah. Pantai yang indah. Ombaknya putih menggulung karang dan kaki yang ia temui. Menjilat pasir coklat putih yang terhampar. Menampar-nampar bilik karang yang pongah menjulang. Masa itu dimulai, 2009. Ketika aku menyadari jika Cipatujah tak hanya cantik, tak hanya elok dengan ombaknya yang berdebur, atau sunrise nya yang merona, juga sunset yang hangat. Tapi ia mengandung berlian yang maha tinggi nilainya.
Ketika dolar-dolar itu saling beradu mengundi harga. Ketika para petinggi, pembesar, pengurus berlomba-lomba, abracadabra menjadi kaya raya. Ketika para kaya raya berinvestasi. Ketika para rakyat bungkam merasa sudah cukup dengan satu, dua lembar rupiah yang diterima setiap 3 bulan sekali. Ketika aku merasa ini adalah pertarungan yang tak membutuhkan lawan.
Pita merah telah terbentang. Gunting telah disiapkan. Semua tinggal menunggu waktu, kapan acara akan segera dimulai. Maka langit gelap, angin berhembus kencang. Awan-awan mengurung diri, peluit telah dinyalakan dan dalam hitungan detik semuanya berawal. Perusahaan asing menggerogoti keelokan, mengobrak-abriknya.
“Ooii, bagaimana dengan yang sebelah sana, bang?” seru sang kuli.
“Oke sini. Hampir beres!” sang supir tank baja mengacungkan ibu jarinya, tanda positif.
Aku tak ingin ketinggalan andil, meskipun tugasku bukan sebagai kuli dekil atau supir berbaju solar. Sedikit lebih bermartabat. Mandor.
“Semua cepat pindah, woii….!” Teriakku sambil mengacungkan tangan dan menunjuk kearah daerah jarahan baru. Semuanya harus patuh dan tunduk dibawah perintah yang sakti itu. Entah ketakutan atau memang merasa tanggung jawab.
Aku tak ingin kehilangan muka, Bapak Bos Asing -begitulah kami biasa menyebutnya-  telah memberikan lencana kepercayaan, kebanggaan bagiku melakukan tugas mulia ini. Berteriak-teriak untuk menghalau si pemalas. Menyudutkan dia yang berpura-pura sakit, menerjang dia yang mulai menatap nanar membangkang. Menampar pipi-pipi yang kembung karena ingin meludahi kehormatan. Kebanggaan. Kecaman untuk yang menjual rasa malu.
“Dasar malas!” Umpatku pada mereka yang mulai kehilangan semangat. “Dasar gila!” seruku pada mereka yang mulai kehilangan akal sehat, yang menggadaikan harga diri untuk sebuah koin.
Sampai hari ini, ketika Bapak Bos Asing melemparkan aku pada palung yang paling dalam, paling gelap, paling berbahaya. Menunjuk-nujuk hidungku, melukai hatiku. Hari sialkah ini, hari apa ini mengapa aku merasa dihianati oleh waktu?
“Mengurus itu saja tidak becus!” begitu kira-kira yang ia katakan, karena diucapkan dalam aksen yang tidak kupahami namun dari nada bicaranya aku yakin itu kira-kira yang ia sampaikan.
Benih-benih itu telah kau bawa,  koin-koin itu telah kau raup tak hingga. Menyebalkan, jika sekarang kau campak.
Sejak itu semua menjadi sepi, memang benar apa kata pepatah “habis manis sepah dibuang”, dia tidak bisa lagi menoleh apa yang telah kami lakukan untuk kemajuannya disini. Dia tak mengerti bagaimana menangani rakyat yang merangsek minta bagian. Namun tidak ada yang bisa dilakukan, sepi itu menggerogoti hati yang tak terbendung malu.
Jaman mungkin telah muak kepadaku. Sejak detik ke detik memberi bukti. Manusia lebih serakah dari apa yang mereka pikirkan. Lebih serakah dari apa yang mereka rencanakan. Dan penyakit gila yang semakin meraja lela: pesta nafsu.
Aku melihat manusia berwajah setan, berkeliaran diantara runtuhan pasir. Mereka berkejaran satu sama lain. Saling memagut dan terguling-guling. Entahlah. Sejak kapan acara itu dimulai, berapa lama semua itu telah terjadi? Aku yang kini harus bertanggung jawab, atas malu yang tidak aku ciptakan.
Dia menanggung malu, aku menderita. Dia kecewa kepadaku, aku tidak tahu.
Andai dia masih Tuhan berkati rasa kecewa atas semua yang terjadi. Maka aku dihukum Tuhan dengan perasaan yang mati, tak pernah tahu “netral”. Semua bukan atas kehendakku, bukan aku yang melakukan.
Seekor kepiting menatap kemeranaanku, kemeranaan pantai yang mengucurkan darah-darah kehancuran. Kepiting yang hilang terlempar angin.
***
Dia kembali meracau. Kesekian kalinya diperbudak. Aku tak bisa lagi menahan napasku yang hampir pupus. Dia mungkin mengerti apa yang aku ingini, tapi dia tak hendak memberikan kesempatan. Kepalanya seperti tanduk setan yang mengobrak-abrik isi dadaku. Bedebah! Aku tak bisa lagi mendengar napasnya yang lembut, kini menjelma laik angin badai yang menderu-deru, seperti orang mabuk tornado, setan kerasukan. Kepalanya semakin besar dan tanduknya semakin tajam. Tubuhnya mengecil namun tangan dan kakinya memanjang. Ia tak punya perasaan karena hatinya telah terlepas dan tercecer dipasir yang memerah. Dihempas ombak yang bergelombang, meronta memainkan takdir diujung darah.
Aku berteriak. Dia tertawa dan sempat berkata, ini semua salah ayahku. Peduli apa dia pada pekerja kecil itu. Aku tak mengetahui setiap dia berkata itu, ada semacam kutukan dari hatiku ke arahnya.
Ditangannya yang kecil ada pisau mengkilap. Diacungkan-acungkan mengarah kedadaku yang hampir rusak oleh amukan tornadonya sejak tadi. Tawanya semakin lebar dan ribuan setan datang menganyang seluruh sendi-sendi tubuhku, tanpa keraguan ia menghujamkan berkali-kali si gesit licin menyakitkan kearah dada yang telanjang. Mencabik dan memotongnya hingga aku merasa ini adalah akhir segalanya. Diujung ketidak sadaranku, matiku, aku melihat potongan tubuh ini dibawa pergi ke arah yang berlainan.  Malam ini aku kalah. Ditangan-tangan para besi yang mabuk.
***
Dia telah terkapar tadi malam. Gadis kecil penjaga warung kopi, anaknya mandor Sumardi. Banyak air mata menetes dari sela-sela mata yang disembunyikan. Semua sudah mafhum jika  ini bukan lagi cerita dari pasar kepasar yang sekedar memaniskan obrolan. Hantaman, menurunnya nilai, bejadnya moral. Ini mungkin puncaknya, pada seorang gadis kecil yang kujaga setengah mati. Aku tahu sudah banyak gadis lain yang hilang dikubur pasir malam. Bukan oleh tanganku. Bukan sama sekali.
Semua orang tak terima. Ini sudah menjadi bibit yang memberi virus kehati manusia. Virus untuk melakukan sesuatu, untuk menunjukan kebenaran atas pekatnya munkar. Semua orang seakan tersadar. Ini waktunya mengangkat bangkai kepermukaan, bahwa pasir yang indah itu penuh darah. Air yang jernih itu tiada, karena tinta merah telah mencemari. Ombak itu menggebu dan menyapu seluruh permukaan darat dan wajah-wajah pendosa.
Ini dia fakta yang menyeretku pada penghinaan telunjuk Bos Asing. Ketidak becusanku mengurus problematic pelik. Ini bukan lagi yang pertama! Teriakku, cukup dalam hati saja. Ini yang kesekian-sekian-sekian, Anda tidak tahu? Berapa banyak kasus yang harus saya telan bagai pil pahit, berapa banyak cerita yang harus saya kubur dibawah pohon pandan. Ini sebuah dosa yang harus ditanggung. Tuhan selalu bersabar, namun hukumnya bergerak bagai roda yang tak mengenal waktu dan arah. Berjalan dan muncul tepat pada waktunya.
Semua terusut. Gunung pasir harus dibebaskan. Setan-setan bertanduk harus dibelenggu. Semuanya harus dihabiskan. Kikis tanpa jejak. Aku mengadukan semuanya, atas kematian yang tak pernah meminta bayaran. Namun bak media masa yang dibredel, aku terbungkam tanpa hak, ketika tuduhan mengarah kepadaku.
“Mati kau sekarang mandor gila..!” mereka mengumpatku dengan senyum seringai yang menakutkan.
Aku seperti kepiting rebus, memerah. Andai saja bisa, aku ingin membanting mulut yang tak tahu malu itu. Mereka menghujat orang yang selama ini jadi penghalang antara cahaya dan pekat. Noda-noda hitam pada wajahnya tak lagi kukenali sejak kapan mereka terus menambah jumlah. Hampir saja kehilangan ciri, bahwa itu adalah sebentuk wajah.
“Silakan ikut kami…” mereka menyeretku, sebelum aku sempat memberi kesaksian. Meskipun nada mereka lembut, dan aku tahu apa arti semua itu. Namun, dijadikan kambing hitam dalam satu malam adalah merusak kemuliaan dan harga diri. Supir-supir bertangan iblis tergelak menunjuk-nunjuk wajahku yang kusam. Kuli-kuli bermata setan menertawai kesialanku.
Meski begitu, Tuhan tahu: AKU BUKAN PEMBUNUH. Tuhan mungkin hanya menunggu, balasan akan terjadi, karma menimpa mereka yang melakukan fitnah atas pembunuhan putriku sendiri.
***
Kini aku menjadi seekor kepiting yang dimain-mainkan ombak. Kemudian tertangkap oleh jari-jari kasar. Masih dipantai yang sama. Kejadian masalalu telah mendidikku untuk melalui semua hal dengan diam. Bangsa diam dan bungkam. Kawan sepi dan sendiri. Aku tak bisa bicara, kakiku lumpuh. Jari-jari itu mengangkatku, mendekatkan aku pada matanya yang bundar. Kata-katanya meluncur. Terkadang ia menyeka tetes peluh yang menggenagi sudut-sudut matanya, itu bukan peluh! Air mata yang mengingatkan aku atas gadis kecil itu. Dimanakah mereka? Bedebah!
Cipatujah. Cipatujah pantai yang kehilangan pasirnya, kehilangan riang ombaknya. Kehilangan kisahnya. Cipatujah muram. Gunung-gunung pasir yang tak sempat mereka gendol, merunduk sedih terbengkalai. Mereka tak ingin pergi dari laut, mereka tak ingin diam. Mereka berharap angin datang dan menaburkan mereka pada arah-arah yang indah, menyatukan mereka pada tarian ombak yang berharmoni.
Aku bertanya pada setiap lekuk yang tersisa, bukan pada sudut matamu yang hitam atau pada bibirmu yang bergetar.
“Tahukah kamu, mengapa aku akan menulis kisahmu?”
Dia mulai tenang. Dia mampu membaca pikiranku, maka ia mengerti aku akan memberinya sebuah jawaban.
Dengan sangat berani kata-kata itu meluncur, “Aku tidak menertawakanmu. Itu kulakukan karena: kisahmu adalah kisahku, yang terjadi padamu adalah padaku juga. Bukan lelucon, bukan bahan hinaan. Sadarlah bahwa kamu adalah aku.”
Ia terhentak. Kemudian membantingkan benda yang digenggamnya. Aku mati. Dia pun terkapar.
Bukan kesialan sebenarnya, bukan sama sekali. Apalagi jika hanya karena dia seorang mandor. Namun karena jaman telah berhianat, dan pantai telah berubah jadi fantasi, fantasi penebar nafsu.
Cipatujah, kembalilah! Begitu angin memisiknya lewat debur ombak yang menghantam karang.

                                                                        Jl. Borosole Iskandar, Bogor
                                                                        15/12/2012, 10:13 WIB

0 komentar:

Posting Komentar