“Entah kenapa
kau peduli pada kisah ini, apakah hanya untuk sekedar membuang waktu? Menulis
karena sensasi gila? Atau engkau sedang menertawai kesialan yang menimpa
kepadaku?”
Aku
diam saja. Seperti buku, seperti pena, seperti tinta. Ia menatapku teliti dan
menyerang bertubi-tubi dengan pertanyaan menohok.
“Sekali
lagi. Mengapa engkau peduli, apakah hanya untuk sekedar membuang waktu? Atau
engkau sedang menertawai kesialan yang menimpa kepadaku?”
“Aha
aku tahu, kamu melakukan ini karena kamu ingin merendahkan harga diriku yang
telah hancur lebur?”
“Hahaha….”
Ia tertawa. Suara tawanya mengisyaratkan kesedihan yang tak tertanggungkan.
Ia
menoleh. Tatapan matanya tajam, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa aku
terdiam. Rasa takut telah menempatkan ia pada kasta tinggi dalam pikiranku.
Tidak boleh melukai perasaannya. Maka hanya ini yang bisa aku lakukan.
Tak
lagi sekedar menatap, ia berjalan
mendekat. Menarik krah baju merahku. Tampak sangat jelas ia sedang marah, ada
bola-bola api yang meloncat keberbagai arah, utara, selatan, timur, dan barat
lengkap sudah. Lantas ia mengangkatku tinggi-tinggi, hampir melemparkannya
kedinding pasir yang tak lama lagi akan menghilang dijilat sepi. Tak ingin
kehilangan jawaban, mungkin dia tipe orang seperti itu: kejar sampai dapat!
Sebagai
makhluk yang tak mampu berbuat banyak, aku hanya pasrah terhadap apa yang
sedang dia lakukan. Tuhan inikah jalan terakhirku? Semakin tinggi ia
mengangkatku, aku merasa terkelupas. Apalah daya ini, jika aku hanya sebesar
telapak tangan manusia. Jiwaku kini tengah ada dalam genggamnya.
Rupanya
ia tak puas hanya sekedar mengangkatku, didekatkannya aku pada matanya yang
bundar dan hitam. Getar-getar takut itu mulai muncul, jika telah bernasib
begini maka tak ada jalan keluar lain selain diam dan pura-pura mati saja. Atau
meminta agar Tuhan segera mengutuk dirinya jadi benda yang tak berperasaan.
Aku
pejamkan mata ini kuat-kuat. Bagi bangsa kami, jika ada risau atau terror yang
menguasai maka menutupkan mata perlahan adalah obat sekaligus tipuan yang akan
menyelamatkan.
“Haha
rupanya kau ketakutan? Teruslah tutup matamu kalau kau suka. Kalau kau merasa
itu jalan keluar. Namun semakin kuat kau pejamkan, semakin terasa pula bagimu
apa yang terjadi. Benar bukan?” bisiknya ditelingaku. Rupanya ia bisa menebak
kunci rahasia bangsa kami, ia mampu mendengar kesah celoteh dalam pikiranku. Jika
ia bisa membaca hati ini, maka….tolong turunkan aku, sebentar lagi aku bisa
mati. Aku tak ingin bernasib sama dengan mereka yang telah mengabur bersama
waktu. Aku tak ingin berperan sama dengan mereka yang berjaya atas rapuhnya
jaman.
“Lepaskan
aku!” Batinku menangis. Ia menyeringai, benarkah ia bisa mendengar semua yang
ku katakan?
***
Cipatujah.
Pantai yang indah. Ombaknya putih menggulung karang dan kaki yang ia temui. Menjilat
pasir coklat putih yang terhampar. Menampar-nampar bilik karang yang pongah
menjulang. Masa itu dimulai, 2009. Ketika aku menyadari jika Cipatujah tak
hanya cantik, tak hanya elok dengan ombaknya yang berdebur, atau sunrise
nya yang merona, juga sunset yang hangat. Tapi ia mengandung berlian
yang maha tinggi nilainya.
Ketika
dolar-dolar itu saling beradu mengundi harga. Ketika para petinggi, pembesar,
pengurus berlomba-lomba, abracadabra menjadi kaya raya. Ketika para kaya
raya berinvestasi. Ketika para rakyat bungkam merasa sudah cukup dengan satu,
dua lembar rupiah yang diterima setiap 3 bulan sekali. Ketika aku merasa ini
adalah pertarungan yang tak membutuhkan lawan.
Pita
merah telah terbentang. Gunting telah disiapkan. Semua tinggal menunggu waktu, kapan
acara akan segera dimulai. Maka langit gelap, angin berhembus kencang.
Awan-awan mengurung diri, peluit telah dinyalakan dan dalam hitungan detik
semuanya berawal. Perusahaan asing menggerogoti keelokan, mengobrak-abriknya.
“Ooii,
bagaimana dengan yang sebelah sana, bang?” seru sang kuli.
“Oke
sini. Hampir beres!” sang supir tank baja mengacungkan ibu jarinya, tanda
positif.
Aku
tak ingin ketinggalan andil, meskipun tugasku bukan sebagai kuli dekil atau
supir berbaju solar. Sedikit lebih bermartabat. Mandor.
“Semua
cepat pindah, woii….!” Teriakku sambil mengacungkan tangan dan menunjuk kearah
daerah jarahan baru. Semuanya harus patuh dan tunduk dibawah perintah yang
sakti itu. Entah ketakutan atau memang merasa tanggung jawab.
Aku
tak ingin kehilangan muka, Bapak Bos Asing -begitulah kami biasa menyebutnya- telah memberikan lencana kepercayaan, kebanggaan
bagiku melakukan tugas mulia ini. Berteriak-teriak untuk menghalau si pemalas.
Menyudutkan dia yang berpura-pura sakit, menerjang dia yang mulai menatap nanar
membangkang. Menampar pipi-pipi yang kembung karena ingin meludahi kehormatan.
Kebanggaan. Kecaman untuk yang menjual rasa malu.
“Dasar
malas!” Umpatku pada mereka yang mulai kehilangan semangat. “Dasar gila!”
seruku pada mereka yang mulai kehilangan akal sehat, yang menggadaikan harga
diri untuk sebuah koin.
Sampai
hari ini, ketika Bapak Bos Asing melemparkan aku pada palung yang paling dalam,
paling gelap, paling berbahaya. Menunjuk-nujuk hidungku, melukai hatiku. Hari
sialkah ini, hari apa ini mengapa aku merasa dihianati oleh waktu?
“Mengurus
itu saja tidak becus!” begitu kira-kira yang ia katakan, karena diucapkan dalam
aksen yang tidak kupahami namun dari nada bicaranya aku yakin itu kira-kira
yang ia sampaikan.
Benih-benih
itu telah kau bawa, koin-koin itu telah
kau raup tak hingga. Menyebalkan, jika sekarang kau campak.
Sejak
itu semua menjadi sepi, memang benar apa kata pepatah “habis manis sepah
dibuang”, dia tidak bisa lagi menoleh apa yang telah kami lakukan untuk
kemajuannya disini. Dia tak mengerti bagaimana menangani rakyat yang merangsek
minta bagian. Namun tidak ada yang bisa dilakukan, sepi itu menggerogoti hati
yang tak terbendung malu.
Jaman
mungkin telah muak kepadaku. Sejak detik ke detik memberi bukti. Manusia lebih
serakah dari apa yang mereka pikirkan. Lebih serakah dari apa yang mereka
rencanakan. Dan penyakit gila yang semakin meraja lela: pesta nafsu.
Aku
melihat manusia berwajah setan, berkeliaran diantara runtuhan pasir. Mereka
berkejaran satu sama lain. Saling memagut dan terguling-guling. Entahlah. Sejak
kapan acara itu dimulai, berapa lama semua itu telah terjadi? Aku yang kini
harus bertanggung jawab, atas malu yang tidak aku ciptakan.
Dia
menanggung malu, aku menderita. Dia kecewa kepadaku, aku tidak tahu.
Andai
dia masih Tuhan berkati rasa kecewa atas semua yang terjadi. Maka aku dihukum
Tuhan dengan perasaan yang mati, tak pernah tahu “netral”. Semua bukan atas
kehendakku, bukan aku yang melakukan.
Seekor
kepiting menatap kemeranaanku, kemeranaan pantai yang mengucurkan darah-darah
kehancuran. Kepiting yang hilang terlempar angin.
***
Dia
kembali meracau. Kesekian kalinya diperbudak. Aku tak bisa lagi menahan napasku
yang hampir pupus. Dia mungkin mengerti apa yang aku ingini, tapi dia tak
hendak memberikan kesempatan. Kepalanya seperti tanduk setan yang mengobrak-abrik
isi dadaku. Bedebah! Aku tak bisa lagi mendengar napasnya yang lembut, kini
menjelma laik angin badai yang menderu-deru, seperti orang mabuk tornado, setan
kerasukan. Kepalanya semakin besar dan tanduknya semakin tajam. Tubuhnya
mengecil namun tangan dan kakinya memanjang. Ia tak punya perasaan karena
hatinya telah terlepas dan tercecer dipasir yang memerah. Dihempas ombak yang
bergelombang, meronta memainkan takdir diujung darah.
Aku
berteriak. Dia tertawa dan sempat berkata, ini semua salah ayahku. Peduli apa
dia pada pekerja kecil itu. Aku tak mengetahui setiap dia berkata itu, ada
semacam kutukan dari hatiku ke arahnya.
Ditangannya
yang kecil ada pisau mengkilap. Diacungkan-acungkan mengarah kedadaku yang
hampir rusak oleh amukan tornadonya sejak tadi. Tawanya semakin lebar dan
ribuan setan datang menganyang seluruh sendi-sendi tubuhku, tanpa keraguan ia
menghujamkan berkali-kali si gesit licin menyakitkan kearah dada yang telanjang.
Mencabik dan memotongnya hingga aku merasa ini adalah akhir segalanya. Diujung
ketidak sadaranku, matiku, aku melihat potongan tubuh ini dibawa pergi ke arah
yang berlainan. Malam ini aku kalah.
Ditangan-tangan para besi yang mabuk.
***
Dia
telah terkapar tadi malam. Gadis kecil penjaga warung kopi, anaknya mandor Sumardi.
Banyak air mata menetes dari sela-sela mata yang disembunyikan. Semua sudah
mafhum jika ini bukan lagi cerita dari
pasar kepasar yang sekedar memaniskan obrolan. Hantaman, menurunnya nilai,
bejadnya moral. Ini mungkin puncaknya, pada seorang gadis kecil yang kujaga
setengah mati. Aku tahu sudah banyak gadis lain yang hilang dikubur pasir
malam. Bukan oleh tanganku. Bukan sama sekali.
Semua
orang tak terima. Ini sudah menjadi bibit yang memberi virus kehati manusia.
Virus untuk melakukan sesuatu, untuk menunjukan kebenaran atas pekatnya munkar.
Semua orang seakan tersadar. Ini waktunya mengangkat bangkai kepermukaan, bahwa
pasir yang indah itu penuh darah. Air yang jernih itu tiada, karena tinta merah
telah mencemari. Ombak itu menggebu dan menyapu seluruh permukaan darat dan
wajah-wajah pendosa.
Ini
dia fakta yang menyeretku pada penghinaan telunjuk Bos Asing. Ketidak becusanku
mengurus problematic pelik. Ini bukan lagi yang pertama! Teriakku, cukup dalam
hati saja. Ini yang kesekian-sekian-sekian, Anda tidak tahu? Berapa banyak
kasus yang harus saya telan bagai pil pahit, berapa banyak cerita yang harus saya
kubur dibawah pohon pandan. Ini sebuah dosa yang harus ditanggung. Tuhan selalu
bersabar, namun hukumnya bergerak bagai roda yang tak mengenal waktu dan arah.
Berjalan dan muncul tepat pada waktunya.
Semua
terusut. Gunung pasir harus dibebaskan. Setan-setan bertanduk harus dibelenggu.
Semuanya harus dihabiskan. Kikis tanpa jejak. Aku mengadukan semuanya, atas
kematian yang tak pernah meminta bayaran. Namun bak media masa yang dibredel,
aku terbungkam tanpa hak, ketika tuduhan mengarah kepadaku.
“Mati
kau sekarang mandor gila..!” mereka mengumpatku dengan senyum seringai yang
menakutkan.
Aku
seperti kepiting rebus, memerah. Andai saja bisa, aku ingin membanting mulut
yang tak tahu malu itu. Mereka menghujat orang yang selama ini jadi penghalang
antara cahaya dan pekat. Noda-noda hitam pada wajahnya tak lagi kukenali sejak
kapan mereka terus menambah jumlah. Hampir saja kehilangan ciri, bahwa itu
adalah sebentuk wajah.
“Silakan
ikut kami…” mereka menyeretku, sebelum aku sempat memberi kesaksian. Meskipun
nada mereka lembut, dan aku tahu apa arti semua itu. Namun, dijadikan kambing
hitam dalam satu malam adalah merusak kemuliaan dan harga diri. Supir-supir bertangan
iblis tergelak menunjuk-nunjuk wajahku yang kusam. Kuli-kuli bermata setan
menertawai kesialanku.
Meski
begitu, Tuhan tahu: AKU BUKAN PEMBUNUH. Tuhan mungkin hanya menunggu, balasan akan
terjadi, karma menimpa mereka yang melakukan fitnah atas pembunuhan putriku
sendiri.
***
Kini
aku menjadi seekor kepiting yang dimain-mainkan ombak. Kemudian tertangkap oleh
jari-jari kasar. Masih dipantai yang sama. Kejadian masalalu telah mendidikku
untuk melalui semua hal dengan diam. Bangsa diam dan bungkam. Kawan sepi dan
sendiri. Aku tak bisa bicara, kakiku lumpuh. Jari-jari itu mengangkatku,
mendekatkan aku pada matanya yang bundar. Kata-katanya meluncur. Terkadang ia
menyeka tetes peluh yang menggenagi sudut-sudut matanya, itu bukan peluh! Air
mata yang mengingatkan aku atas gadis kecil itu. Dimanakah mereka? Bedebah!
Cipatujah.
Cipatujah pantai yang kehilangan pasirnya, kehilangan riang ombaknya. Kehilangan
kisahnya. Cipatujah muram. Gunung-gunung pasir yang tak sempat mereka gendol,
merunduk sedih terbengkalai. Mereka tak ingin pergi dari laut, mereka tak ingin
diam. Mereka berharap angin datang dan menaburkan mereka pada arah-arah yang
indah, menyatukan mereka pada tarian ombak yang berharmoni.
Aku
bertanya pada setiap lekuk yang tersisa, bukan pada sudut matamu yang hitam atau
pada bibirmu yang bergetar.
“Tahukah
kamu, mengapa aku akan menulis kisahmu?”
Dia
mulai tenang. Dia mampu membaca pikiranku, maka ia mengerti aku akan memberinya
sebuah jawaban.
Dengan
sangat berani kata-kata itu meluncur, “Aku tidak menertawakanmu. Itu kulakukan
karena: kisahmu adalah kisahku, yang terjadi padamu adalah padaku juga. Bukan
lelucon, bukan bahan hinaan. Sadarlah bahwa kamu adalah aku.”
Ia
terhentak. Kemudian membantingkan benda yang digenggamnya. Aku mati. Dia pun
terkapar.
Bukan
kesialan sebenarnya, bukan sama sekali. Apalagi jika hanya karena dia seorang
mandor. Namun karena jaman telah berhianat, dan pantai telah berubah jadi
fantasi, fantasi penebar nafsu.
Cipatujah,
kembalilah! Begitu angin memisiknya lewat debur ombak yang menghantam karang.
Jl.
Borosole Iskandar, Bogor
15/12/2012,
10:13 WIB
0 komentar:
Posting Komentar