3 Januari 2014

HAJIR (TERINSPIRASI SAAT JALAN PAGI DI KOJENGKANG)

Standard

Disebuah perempatan Hajir sedang membanting harga. Dagangannya tergeletak begitu saja, ada pakaian, sandal, kaus kaki, bahkan catok kuku, mereka digelar tanpa bandrol harga. 
Lusuh, berdebu, dan usang kepanasan. Siapa yang peduli? Hajir prustasi dengan usahanya yang tak pernah menemukan kejayaan, telah berkali-kali ia gagal. Burung-burung memang mudah sekali berkicau “gagal adalah keberhasilan yang tertunda”, puih bagiku  “kegagalan adalah awal kegagalan berikutnya”. 

Cepat-cepat ia beristigfar jika pemikiran seperti itu terlintas. Astagfirullohaladzim... 
“Diskon Bu, diskon Neng. Sembilan puluh persen...!” seru Hajir. Diacung-acungkannya sebuah dres merah berpita di dada, “Model terbaru Bu, diskon untuk hari ini saja.” 
Seorang anak kecil menarik-narik lengan baju ibunya, ia menatap Hajir dengan ketakutan. Dengan segera ibu dan anak itu berlalu, tanpa menoleh lagi. Mereka tak menghiraukan tawaran sang Hajir yang sedang membanting harga. 

Apa maunya pembeli itu? Bahkan sampai diskon sembilan puluh persen pun tak ada yang mau beli? Kalo gratis apa mereka mau beli? Hajir berbicara pada dirinya. “Diskon Bu, diskon Neng, model baru hanya tiga puluh saja. Ayo pilih, ayo pilih...” “Mang catok kukunya gope ya..” seorang gadis menyodorkan satu keping uang recehan. “Seribu Neng catok kuku, itu sudah diskon 50 %, nah yang petunjuk Al-Quran kecil itu baru gope.” jawab Hajir menyeka keringat. Senyum diwajahnya terkembang, bahagia, barang dagangannya ada yang beli. 
“Nah, tadi juga yang nawarin sebelah sana gope ko Mang,” jawabnya ketus. Hajir tidak suka harganya dibandingkan dengan harga yang lain, ia menatap tajam ke si Gadis yang sedang berbohong. Senyumannya ia gulung bersama keringat dipelipisnya.
Ah neng, mana ada harga gope, pisang goreng Bi Inah sepotong baru gope, Hajir membatin.
“Uangnya gak ada lagi Mang,” Gumam sang gadis merendah, ia menekuk wajahnya malu ketahuan bohong, “Uangnya gak ada lagi Mang...” lebih tendengar seperti bisikan.
Hajir berpikir keras antara ya dan tidak, antara kasihan dan ketegasan, antara rugi atau sangat rugi, antara pahala dan pahala sekali. Tatapannya meredup, catok kuku warna hijau itu sudah ditangan sang Gadis. Keringatnya semakin deras, ia kembali meyekanya dengan lengan baju.
 Ya sudah sebagai hadiah, ambil saja gope..” Ucap Hajir keras, sampai semua orang menoleh kepadanya. Ia sudah tak berlogika lagi tentang untung rugi. Si Gadis tersenyum dan berlalu, “Makasih Mang.” Hajir memasukan recehan itu ke saku bajunya.
Matahari semakin terik, barang Hajir tetap utuh seperti sepeninggalan si Gadis. Meskipun jalanan ramai tak ada yang peduli teriakan Hajir yang melolong. “Diskon Bu, diskon Neng, sembilan puluh persen....” Adzan duhur bergema, Hajir menggulung dagangannya. Ia melangkah terseok dengan karung dagangan dipundaknya menuju sebuah halaman mesjid.  “Allahu akbar,” dia mengangkat kedua tangannya dibelakang seorang imam. Seketika barang dagangannya telah menguap dari ingatannya.
“Ya Allah Yang Maha Kaya, Maha Bijaksana, ampunilah jika doa hamba terdengar kurang ajar. Ampunilah jika hamba yang dhoif ini tak tahu syukur, hamba bukan tidak bersyukur karena Engkau telah percayakan pada hamba kemiskinan dan ujian kegagalan, namun hamba merasa ujian itu telah menyusahkan hamba dan menjauhkan hamba dari Mu. Siang malam hamba melolong seperti orang kesurupan menggadaikan waktu khalwatku dengan Mu. Maka jika Engkau telah melihat kesiapan dalam diriku, perkenankan hamba menjadi orang sukses ya Allah, sukses dicintai oleh Mu. Karena hamba bodoh tidak tahu caranya mendapat cinta, namun hamba yakin Engkau selalu memiliki cara mencintaiku, hamba mu datang dan mengakui. Ya Mujib yang maha mengabulkan jangan tolak pernyataan ini, jangan kecewakan  permohonan hamba yang meminta cinta Mu, aaminn aamiin aamiin...”
Ia mengakhiri doanya dengan sujud syukur penuh harapan dan cinta, uang recehan disaku bajunya menggelinding entah kemana. 
Saat menoleh kebelakang ia mendapati barang dagangannya pun telah raib, diangkut orang.  
“Rabbi....”batinnya kembali. Mungkin ini salah satu cara Engkau mencintaiku.

Az.

0 komentar:

Posting Komentar