Jika menginginkan pohon berdiri kuat, jangan tanam ia di
dekat sumber air. Biarkan akarnya mengembara, menghujam semakin dalam dan
semakin jauh. Mencari bergerak membelah tanah, dan mencari air hingga sahara,
sampai akhirnya menemukan. Dan kau dapati pohon telah menjadi kuat, sangat
kuat.
Masih saja perempuan. Tentang perempuan, tak pernah jauh
dari luka. Perempuan luka menginginkan kekuatan seperti pohon. Pohon yang
jangan sampai terpikirkan untuk ditanam dekat sumber air.
Tentang perempuan luka. Ia hendak menjelma jadi pohon, yang akarnya
menghujam, berbatang besar, daunnya rimbun, cabang dan ranting kuat, bahkan
berbunga dan manis buahnya.
“Bagaimana bisa kau jadi pohon kuat? Menjadi pohon saja kau
tak mungkin,” seloroh dan olok perempuan bermata juling.
“Aku bisa jika aku mau, kamu lihat aku bisa menjadi apapun,”
“Hahaha… jangan ngeyel kamu, bagaimana perempuan luka bisa
menjadi apapun? Coba kau jadi angin dan terbang ke gubuk presiden, katakan
padanya kamu hendak jadi pohon, mampu kau?” olok perempuan berbibir sumbing,
samar-samar.
“Maksudmu gubuk?
Istana? Untuk apa aku berkata demikian pada presiden? Inilah pikiran sulitmu,
sedikit-sedikit harus mengumbar mimpi, ke presiden apalagi? Kau mengatakan
sesuatu tidak pada tempatnya! Aku pikir Tuhan cukup. Dengar, aku bisa jadi angin jika aku mau, tapi aku
tak mau, tak hendak. Aku benci angin.”
Perempuan juling dan sumbing terdiam, saling pandang satu
sama lain. Perempuan luka memang bisa lebih gila dari apapun. Lebih edan dari
seorang edan. Lebih menggairahkan, dan tentu saja lebih seksi. Perempuan luka
bisa jadi singa kelaparan, mencabik apapun yang ia temui. Bukankah singa betina
amukannya lebih dahsyat dari singa jantan sekalipun? Entahlah, perempuan luka
memang berbeda.
Perempuan luka yang hendak jadi pohon berakar menghujam,
berbatang besar, berdaun rimbun, bercabang dan beranting kuat, berbunga bahkan
berbuah, buahnya manis, menatap dirinya. Perempuan luka menatap ada air bening
disudut mata kanannya. Ia sedih, mungkin ucapannya endiri yang meluaki hatinya.
Dasar perempuan luka, mudah saja ia terluka, bukankah ia harusnya telah biasa?
“Bukan begitu maksud kami perempuan luka.” Perempuan juling
mulai mengalah, baginya luka jangan lagi ditetesi air garam.
“Lantas, apa maksud pertanyaanmu yang meragukanku itu?
Bukankah kau mengenaliku, bahkan sejak beribu tahun?”
“Aku hanya tak ingin kau lebih terluka dengan menjadi pohon
itu, kau lebih baik jadi angin, mengembara bebas sekehendaknya, aku tahu kau
menginginkan kebebasan bukan?” Perempuan sumbing bersuara sumbang menasihati.
“Sudah kukatakan, aku benci angin!”
“Jika kau jadi pohon sekuat apapun tumbuh dan hidup, kau tetap akan mati, mungkin saja ditebang dan
menjadi lemari tua yang berakhir di gudang, atau meja atau kursi yang salah
satu sokonya patah. Lalu kau berakhir tetap dengan luka. Bukankah maksud awalmumu
hendak jadi pohon adalah agar kau kuat dan tak merasakan luka?”
“Tapi pohon bisa menaungi, kau tahu rimbunnya daun tak
semata untuk mempercantik diri sendiri. Buahnya memberi rasa segar, dan akarnya?
Ia menyimpan air. Jika berkata tentang kesudahan, aku tahu Tuhan cukup bagiku”
“Kau tak perlu jadi pohon, kau tak butuh itu, kau tak bisa
terus begini…,” Perempuan juling melemah, lagi-lagi.
Ternyata pohon tak kuat hanya jika ditanam jauh dari sumber
air, jangan berikan pohon pupuk. Biarkan daunnya yang akan menjadikan pupuk
untuk dirinya sendiri, setiap kering yang menjatuhkan diri dan terbawa angina,
membusuk disantap cacing, bagus untuk mereka. Tidak usah kau tabor NPK atau
semacamnya, tidak usah!
Pagi dan matahari, seharusnya dua kata yang sejalan. Pagi
datang karena matahari, matahari muncul maka terbitlah kata “pagi”,mereka
muncul bersama dan tak mungkin terpisah-pisah. Pikir perempuan, tak pernah jauh
dari luka.
0 komentar:
Posting Komentar