12 Maret 2013

Adakah Sesuatu Dibalik Sesuatu?

Standard


Bismillah, andai ada sesuatu dibalik sesuatu seperti Tuhan memberi hikmah terhadap segala sesuatu. Itu bukanlah kewajiban kita untuk tahu apa hikmah dibalik narasi, yang harus tahu adalah syukur dalam segala posisi.
Heum Right! Ibaratnya saya melemparkan sebuah pena ke lantai, lantas saya bertanya itu salah siapa? Heiii itu salah siapa? Ko pena bisa tergeletak gitu aja dilantai, coba kalo ke injek kan sayang, terus gimna kalo orang yang menginjaknya jatuh kepeleset?
Betul memang saya yang melempar (andai saya mau mengaku itu juga). Terus? Manusia sebagai insan intelek yang bertahun-tahun menyelesaikan beban management fakultatif dengan nilai bagus lagi, harusnya bisa melihat sesuatu dibalik sesuatu. Mengapa kita selalu berfokus pada "masalahnya"? mengapa tidak berfokus pada "cara pemecahan masalahnya". Gak perlu ribut bukan, yang pasti ambil pulpennya, taruh pada tempatnya dan selesai. kalau kata Bapak Gusdur, githu aja kok repottt!
Saya pun sering begitu, melihat masalah melalui kacamata minus. Siapa yang bersalah, mengapa ia melakukan demikian, mengapa itu bisa terjadi dan kalimat mengapa lainnya yang sering saya indikasi sebagai perincian masalah. Termasuk pandangam saya saat melihat kasus Hambalang yang tak kunjung usai setelah menambah satu aktor lain (jenuh #@*). Lantas ketika hari ini ada kesadaran bahwa jangan lagi melihat siapa dan mengapa tapi "bagaimana cara menyelesaikan masalah itu?" Ah rasanya seperti ingin mengambil pulpen dan menaruh kembali pada tempatnya, tapi pulpennya itu bukan berada ditempat saya saat ini berada, tapi dibelahan dunia lain yang saya sangat sulit menjangkaunya, kecuali untuk menelepon atau sms orang-orang yang berada dekat dengan pulpen itu. Ah itu pun  saya tak punya koneksi, saya bukan seseorang yang punya kenalan penegak hukum atau lainnya yang bisa saya mintai tolong.
Wah kok malah ngelantur ke masalah itu, balik lagi ke posisi.
Melihat sesuatu dibalik sesuatu seperti melihat masalah dari sisi pemecahannya, menginspirasi saya untuk mengulas masalah organisasi dikampus ini. Kampus tercinta yang kita berada didalamnya, apakah akan menjadikannya dinamis atau statis. Kedinamisan ini tentu saja selain diindikatori oleh prestasi akademik juga oleh prestasi organisasinya. Organisasi seperti ibadah tambahan bagi seorang mahasiswa, apakah boleh dikatakan pelengkap? Beban mata kuliah yang saat ini didapatkan, sebagian dapat langsung diaplikasikan didalam organisasi sebagai medianya.
Seperti inikah?
Saat ini, saya belajar IPS tentang keterkaitan antara fakta, data, konsep, dan generalisasi. Saat diruang kuliah itu cukup jadi bahan diskusi, lantas bagaimana penerapannya di sehari-hari? Salah satu medianya adalah organisasi. Kita melihat bagaimana fakta minat berorganisasi saat ini di kampus, kita kumpulkan fakta2 itu bisa diperoleh dari pengumpulan data mulai dari wawancara, angket, pengamatan dan banyak cara lainnya. Lantas setelah pengumpulan fakta? Kita memperoleh data bagaimana sesungguhnya minat berorganisasi.
Nah kita apakan data ini? data ini kita olah untuk menghasilkan sebuah kesimpulan berdasarkan konsep-konsep yang telah kita abtraksikan dari data, baik berupa pendapat atau teori atau malah hukum (hukum berorganisasi mungkin hahahamh): misal "Minat berorganisasi di UPI Tasik ini cukup rendah." Cetusan itu muncul karena misalkan: orang-orang yang berada di beberapa organisasi ya dia lagi-dia lagi.
Lalu setelah dapat cetusan aneh itu, apa yang dapat kita lakukan? Ya jelas lihat sesuatu dibalik sesuatu. Problem Solving.
1. Kampus tidak mewajibkan seorang mahasiswa untuk berorganisasi di dalam kampus.
2. Kampus tidak membatasi seorang mahasiswa untuk ikut dalam beberapa organisasi di dalam kampus.
3. Mahasiswa merasa tidak punya keuntungan dalam segi material jika berorganisasi di dalam kampus.
4. Tidak punya waktu untuk berorganisasi didalam kampus.
dan banyak rentetan lainnya yang jadi jawaban mengapa, yang jadi jawaban bagaimana adalah kebalikan dari mengapa (untuk kasus ini).
Krisis pengkaderan dalam berorganisasi (pusing nyari penerus) dikarenakan minimnya minat mahasiswa dalam berorganisasi. Ah, mana tugas mahasiswa itu, iron stock ya dimanakah ia? Tugas mahasiswa selain jadi agent of change dan social control? Bagaimana akan jadi iron stocke jika kondisi di kampusnya pun begini adanya? saling tunjuk menunjuk dan nemlehkeun. Bukan saling berkompetisi untuk mengambil kesempatan sebagai bukti jiwa mudanya malah saling hujat.  Mengapa yang berjiwa muda malah lesu? Lihat yang tua-tua aja masih pada mau nyalonin diri di pemilu (contohnya, maaf)? Kebalik sama faktanya kan, beri aku sepuluh pemuda itu kini hanya pemanis pidato. Saya rindu bukti, bukti dari kata Bung Karno itu.
Jika ikut berorganisasi hanya untuk materi, popularitas, nyari jodoh, atau dekat dengan dosen biar nilai akademik bagus, ayo TOBAT! Gak papa lah biar ngikut istilah Pak Anis Mata, Taubat Nasional. Tapi benar itu 100%, saya yakin minat mahasiswa berorganisasi rendah karena gak tahu tujuan dalam organisasi. Hanya ingin untung, apa sih keuntungan saya berorganisasi? Hanya itu yag ada dibenaknya. (galak banget ya?). tapi gak pernah mau bertanya, apa yang bisa saya berikan untuk kampus dan organisasi? mental memberi yang belum tumbuh. Yups oleh karena itu ada sebuah teka-teki yang harus dijawab oleh kita bersama:
wahai Para Mahasiswa yang berjiwa muda, anda mau jadi mahasiswa yang sesungguhnya sebagai iron stocke atau jadi mahasiswa yang sekedar punya selembar ijazah? Berorganisasilah sebagai ibadah tambahan untuk mengaplikasikan ilmu mu, ini bukan perintah tapi sebuah permintaan mohon bantuan, lihatlah mimpimu disana dan lihatlah disana membutuhkan tangan dan perjuanganmu.
Akhirnya saya sadar, jika saya tak perlu menunggu koneksi untuk memberi tahu bagaimana harusnya pulpen itu diletakan. Saya punya media, saya punya tangan. Menulislah. Toh biar tidak sampai pun, akan ada orang yang mau membaca dan sama2 memikirkan nasib pulpen yang jatuh itu. Seperti tak perlu menunggu sempurna untuk mengajak orang lain. Karena Kesempurnaan mutlak milik yang Kuasa, kita hanya harus berusaha dan berdoa.
Doa penutup untuk tulisan yang hanya unek-unek, "Robbisrohli sodri wa yaa sirli amri, wah lul'uk datammilisani yapkohu kouli, AAmiin." Semoga bermanfaat, Wallohu 'alam bissowab. (AZ)

11 Maret 2013

MANUSIA

Standard

Air mengalir beriak-riak, menuju sebuah danau yang tak henti bernyanyi. Bahagia terpancar dari rona hening yang dilukiskan. Ah betapa nyaman dunia ini, dahaga terpuaskan, sejuk mengisi insang yang lemas.  Sudah berlalu jaman ke jaman, dan semua masih sama. Hanya beberapa ornamen yang mulai menghilang karena terganti sesuatu yang baru. Batu-batu yang dulu berjejal besar kecil telah dibelah kacau oleh tembok megah yang mencuat angkuh. Sama. Sama-sama keras bukan? Tanyaku.
Sesuatu terjadi, sore ini. Permukaan air yang menggigil, bergetar ketakutan menandakan jika ada sesuatu yang mengusik ketenangan dari harinya yang permai. Entah. Entah apa sebabnya. Apakah karena gerimis yang menangis? Atau karena sebuah makhluk yang tak mau diam. Yang jelas danau itu tak lagi tentram. Kesejukan tergadai uang dan bening air tergadai tahta. Semuanya, semua yang dimiliki alam digadaikan untuk dia.
Dia sebuah makhluk yang berdiri mematung diantara langit dan bumi. Dia makhluk yang setiap hari memicingkan mata diatas air, mencoba menggapi-gapai kaki kecebong di dasar danau. Kecebong yang tak henti menmbusakan cerita baru.
Penghuni kolam sontak mengerubungi gosip yang disampaikan kecebong. Termasuk sebuah keluarga kecil yang baru tiga bulan menikah, bapak ikan, ibu ikan dan anak ikan. Makhluk berekor yang membuat air blingsatan kini tengah menatap sebuah wujud yang aneh, ia menggoyangkan tubuhnya hendak mencerna apa yang ia lihat.
Bayangan yang tak jelas bentuknya, berdiri  terseok diayun-ayun gelombang air. Nampak seperti manusia. SEORANG saja: MANUSIA. Manusia yang mulai menyeringai, kemudian tertawa dan menampakan giginya. Pertanyaan menyembul, apa maksudnya dia bertingkah aneh. Manusia itu mencoba melebarkan mulutnya, lebar, lebar, semakin lebar dan hampir saja bibirnya sobek sampai ketelinga. Lebar, menjijikan dan bengis. Ia tak lagi berupa manusia, tepat jika dikatai monster, iblis, atau setan. Semua hal yang memiliki latarbelakang menakutkan. Anak ikan mengatupkan mulutnya, menyembunyikan bola matanya dan serta merta menangis. Ada firasat yang tak bisa terkatakan tentang bencana yang akan tiba. Bapak ikan dan ibu ikan pun tak bisa berkecipak, ia sadar bahwa dunianya telah sampai pada ujung cerita, hampir punah. Mungkinkah ini manusia yang diramalkan itu?
Manusia? Tak henti-hentinya tertawa. Dari hari kehari, giginya terus tumbuh seperti crodentia makhluk pengerat, namun manusia itu membiarkan giginya melukai bibir mungilnya yang merah. Hingga waktu membuktikan, daging mungil yang merekah itu terkelupas. Ada suara kesakitan, kelaparan, dan penghinaan, namun ia tak menghiraukan semuanya. Meskipun taring itu semakin hari semakin memanjang. Tidak tampak kepedulian. Tak ada usaha untuk  menghentikan, baik senyuman setan atau gigi panjang iblis yang melukai. Ia membiarkan bibir itu menganga dan bertinta. Tinta itu berwarna merah, menetes perlahan-perlahan tanpa hujatan atau hasutan.  Ia, manusia yang membunuh waktu ketika setiap tetesan darah yang anyir memenuhi dadanya. Ah tentu saja ia menikmati kebiadaban ini, bukankah itu yang ia inginkan?
Tinta kehidupan. Menuliskan kata merah dan mengalirkannya dengan deras. Kini kehabisan akal hanya untuk sekedar menetes, ia membaur seperti air mancur yang tak henti-hentinya mengais kacau, seolah ingin menguras kekuatan tubuhnya.
Ketika tinta memancar dan cukup menodai dadanya yang dulu suci dengan janji. Tinta merah itu mulai meloncat deras, ringan dan cepat menempa permukaan air yang bening di danau malang itu. Ajaib….sungguh ajaib…..! karena ia tak lagi berupa darah. Mencekam, semua tertekan ketakutan dan melarikan diri pontang-panting mencari peruntungan. Kecuali satu keluarga itu, yang tak sempat menggerakan tubuhnya menghindar. Terkapar. Kini darah itu menjelma menjadi racun yang licin laik minyak sayur yang gemerlap. Ia mematikan dan angkuh, tak bisa menyatu dengan apapun. Ketika derasnya bak lidah yang menyabit apapun sesukanya, ketika merahnya bak sikap berani yang pongah; tak tak takut dan tak merasa salah untuk melakukan segala hal.  Ia selalu ingin diatas dengan kemilau dunia yang ia tawarkan. Bedebah! Setiap hal yang ia syairkan akan mati, termasuk makhluk dalam riak air yang sendu, telah menjadi syair wajibnya. Namun mengapa ia tak menyairkan dirinya saja? Jika ia pun akan mati dan ditanya perilakunya yang serakah. Sudahlah, manusia tak bisa memahami kita.  Alam rusak dan binasa.
Ruh-ruh itu pergi, meninggalkan tubuhnya yang kaku. Satu keluarga: ayah ibu dan anak yang kini terbang menggapai langit dengan tangan yang saling menggenggam untuk meminta Tuhan bersikap adil atas hal yang menimpanya. Dalam doa mereka terdengar, “…manusia….”. (Annisa Zahraa)