11 Maret 2013

MANUSIA

Standard

Air mengalir beriak-riak, menuju sebuah danau yang tak henti bernyanyi. Bahagia terpancar dari rona hening yang dilukiskan. Ah betapa nyaman dunia ini, dahaga terpuaskan, sejuk mengisi insang yang lemas.  Sudah berlalu jaman ke jaman, dan semua masih sama. Hanya beberapa ornamen yang mulai menghilang karena terganti sesuatu yang baru. Batu-batu yang dulu berjejal besar kecil telah dibelah kacau oleh tembok megah yang mencuat angkuh. Sama. Sama-sama keras bukan? Tanyaku.
Sesuatu terjadi, sore ini. Permukaan air yang menggigil, bergetar ketakutan menandakan jika ada sesuatu yang mengusik ketenangan dari harinya yang permai. Entah. Entah apa sebabnya. Apakah karena gerimis yang menangis? Atau karena sebuah makhluk yang tak mau diam. Yang jelas danau itu tak lagi tentram. Kesejukan tergadai uang dan bening air tergadai tahta. Semuanya, semua yang dimiliki alam digadaikan untuk dia.
Dia sebuah makhluk yang berdiri mematung diantara langit dan bumi. Dia makhluk yang setiap hari memicingkan mata diatas air, mencoba menggapi-gapai kaki kecebong di dasar danau. Kecebong yang tak henti menmbusakan cerita baru.
Penghuni kolam sontak mengerubungi gosip yang disampaikan kecebong. Termasuk sebuah keluarga kecil yang baru tiga bulan menikah, bapak ikan, ibu ikan dan anak ikan. Makhluk berekor yang membuat air blingsatan kini tengah menatap sebuah wujud yang aneh, ia menggoyangkan tubuhnya hendak mencerna apa yang ia lihat.
Bayangan yang tak jelas bentuknya, berdiri  terseok diayun-ayun gelombang air. Nampak seperti manusia. SEORANG saja: MANUSIA. Manusia yang mulai menyeringai, kemudian tertawa dan menampakan giginya. Pertanyaan menyembul, apa maksudnya dia bertingkah aneh. Manusia itu mencoba melebarkan mulutnya, lebar, lebar, semakin lebar dan hampir saja bibirnya sobek sampai ketelinga. Lebar, menjijikan dan bengis. Ia tak lagi berupa manusia, tepat jika dikatai monster, iblis, atau setan. Semua hal yang memiliki latarbelakang menakutkan. Anak ikan mengatupkan mulutnya, menyembunyikan bola matanya dan serta merta menangis. Ada firasat yang tak bisa terkatakan tentang bencana yang akan tiba. Bapak ikan dan ibu ikan pun tak bisa berkecipak, ia sadar bahwa dunianya telah sampai pada ujung cerita, hampir punah. Mungkinkah ini manusia yang diramalkan itu?
Manusia? Tak henti-hentinya tertawa. Dari hari kehari, giginya terus tumbuh seperti crodentia makhluk pengerat, namun manusia itu membiarkan giginya melukai bibir mungilnya yang merah. Hingga waktu membuktikan, daging mungil yang merekah itu terkelupas. Ada suara kesakitan, kelaparan, dan penghinaan, namun ia tak menghiraukan semuanya. Meskipun taring itu semakin hari semakin memanjang. Tidak tampak kepedulian. Tak ada usaha untuk  menghentikan, baik senyuman setan atau gigi panjang iblis yang melukai. Ia membiarkan bibir itu menganga dan bertinta. Tinta itu berwarna merah, menetes perlahan-perlahan tanpa hujatan atau hasutan.  Ia, manusia yang membunuh waktu ketika setiap tetesan darah yang anyir memenuhi dadanya. Ah tentu saja ia menikmati kebiadaban ini, bukankah itu yang ia inginkan?
Tinta kehidupan. Menuliskan kata merah dan mengalirkannya dengan deras. Kini kehabisan akal hanya untuk sekedar menetes, ia membaur seperti air mancur yang tak henti-hentinya mengais kacau, seolah ingin menguras kekuatan tubuhnya.
Ketika tinta memancar dan cukup menodai dadanya yang dulu suci dengan janji. Tinta merah itu mulai meloncat deras, ringan dan cepat menempa permukaan air yang bening di danau malang itu. Ajaib….sungguh ajaib…..! karena ia tak lagi berupa darah. Mencekam, semua tertekan ketakutan dan melarikan diri pontang-panting mencari peruntungan. Kecuali satu keluarga itu, yang tak sempat menggerakan tubuhnya menghindar. Terkapar. Kini darah itu menjelma menjadi racun yang licin laik minyak sayur yang gemerlap. Ia mematikan dan angkuh, tak bisa menyatu dengan apapun. Ketika derasnya bak lidah yang menyabit apapun sesukanya, ketika merahnya bak sikap berani yang pongah; tak tak takut dan tak merasa salah untuk melakukan segala hal.  Ia selalu ingin diatas dengan kemilau dunia yang ia tawarkan. Bedebah! Setiap hal yang ia syairkan akan mati, termasuk makhluk dalam riak air yang sendu, telah menjadi syair wajibnya. Namun mengapa ia tak menyairkan dirinya saja? Jika ia pun akan mati dan ditanya perilakunya yang serakah. Sudahlah, manusia tak bisa memahami kita.  Alam rusak dan binasa.
Ruh-ruh itu pergi, meninggalkan tubuhnya yang kaku. Satu keluarga: ayah ibu dan anak yang kini terbang menggapai langit dengan tangan yang saling menggenggam untuk meminta Tuhan bersikap adil atas hal yang menimpanya. Dalam doa mereka terdengar, “…manusia….”. (Annisa Zahraa)

0 komentar:

Posting Komentar