Air mengalir beriak-riak, menuju sebuah danau yang tak henti bernyanyi.
Bahagia terpancar dari rona hening yang dilukiskan. Ah betapa nyaman dunia ini,
dahaga terpuaskan, sejuk mengisi insang yang lemas. Sudah berlalu jaman ke jaman, dan semua masih
sama. Hanya beberapa ornamen yang mulai menghilang karena terganti sesuatu yang
baru. Batu-batu yang dulu berjejal besar kecil telah dibelah kacau oleh tembok
megah yang mencuat angkuh. Sama. Sama-sama keras bukan? Tanyaku.
Sesuatu terjadi, sore ini. Permukaan air yang menggigil, bergetar
ketakutan menandakan jika ada sesuatu yang mengusik ketenangan dari harinya
yang permai. Entah. Entah apa sebabnya. Apakah karena
gerimis yang menangis? Atau karena sebuah makhluk yang tak mau diam. Yang jelas
danau itu tak lagi tentram. Kesejukan tergadai uang dan bening air tergadai
tahta. Semuanya, semua yang dimiliki alam digadaikan untuk dia.
Dia sebuah makhluk yang berdiri mematung diantara langit dan bumi. Dia
makhluk yang setiap hari memicingkan mata diatas air, mencoba menggapi-gapai
kaki kecebong di dasar danau. Kecebong yang tak henti menmbusakan cerita baru.
Penghuni kolam sontak mengerubungi gosip yang disampaikan kecebong.
Termasuk sebuah keluarga kecil yang baru tiga bulan menikah, bapak ikan, ibu
ikan dan anak ikan. Makhluk berekor yang membuat air blingsatan kini tengah
menatap sebuah wujud yang aneh, ia menggoyangkan tubuhnya hendak mencerna apa
yang ia lihat.
Bayangan yang tak jelas bentuknya, berdiri terseok diayun-ayun gelombang air. Nampak
seperti manusia. SEORANG saja: MANUSIA. Manusia yang mulai menyeringai,
kemudian tertawa dan menampakan giginya. Pertanyaan menyembul, apa maksudnya
dia bertingkah aneh. Manusia itu mencoba melebarkan mulutnya, lebar, lebar,
semakin lebar dan hampir saja bibirnya sobek sampai ketelinga. Lebar,
menjijikan dan bengis. Ia tak lagi berupa manusia, tepat jika dikatai monster,
iblis, atau setan. Semua hal yang memiliki latarbelakang menakutkan. Anak ikan
mengatupkan mulutnya, menyembunyikan bola matanya dan serta merta menangis. Ada
firasat yang tak bisa terkatakan tentang bencana yang akan tiba. Bapak ikan dan
ibu ikan pun tak bisa berkecipak, ia sadar bahwa dunianya telah sampai pada
ujung cerita, hampir punah. Mungkinkah ini manusia yang diramalkan itu?
Manusia? Tak henti-hentinya
tertawa. Dari hari kehari, giginya terus tumbuh seperti crodentia makhluk
pengerat, namun manusia itu membiarkan giginya melukai bibir mungilnya yang
merah. Hingga waktu membuktikan, daging mungil yang merekah itu terkelupas. Ada
suara kesakitan, kelaparan, dan penghinaan, namun ia tak menghiraukan semuanya.
Meskipun taring itu semakin hari semakin memanjang. Tidak tampak kepedulian.
Tak ada usaha untuk menghentikan, baik senyuman
setan atau gigi panjang iblis yang melukai. Ia membiarkan bibir itu menganga
dan bertinta. Tinta itu berwarna merah, menetes perlahan-perlahan tanpa hujatan
atau hasutan. Ia, manusia yang membunuh waktu
ketika setiap tetesan darah yang anyir memenuhi dadanya. Ah tentu saja ia
menikmati kebiadaban ini, bukankah itu yang ia inginkan?
Tinta kehidupan. Menuliskan
kata merah dan mengalirkannya dengan deras. Kini kehabisan akal hanya untuk
sekedar menetes, ia membaur seperti air mancur yang tak henti-hentinya mengais
kacau, seolah ingin menguras kekuatan tubuhnya.
Ketika tinta memancar dan cukup
menodai dadanya yang dulu suci dengan janji. Tinta merah itu mulai meloncat deras,
ringan dan cepat menempa permukaan air yang bening di danau malang itu. Ajaib….sungguh
ajaib…..! karena ia tak lagi berupa darah. Mencekam, semua tertekan ketakutan dan
melarikan diri pontang-panting mencari peruntungan. Kecuali satu keluarga itu,
yang tak sempat menggerakan tubuhnya menghindar. Terkapar. Kini darah itu menjelma
menjadi racun yang licin laik minyak sayur yang gemerlap. Ia mematikan dan
angkuh, tak bisa menyatu dengan apapun. Ketika derasnya bak lidah yang menyabit
apapun sesukanya, ketika merahnya bak sikap berani yang pongah; tak tak takut
dan tak merasa salah untuk melakukan segala hal. Ia selalu ingin diatas dengan kemilau dunia
yang ia tawarkan. Bedebah! Setiap hal yang ia syairkan akan mati, termasuk
makhluk dalam riak air yang sendu, telah menjadi syair wajibnya. Namun mengapa
ia tak menyairkan dirinya saja? Jika ia pun akan mati dan ditanya perilakunya
yang serakah. Sudahlah, manusia tak bisa memahami kita. Alam rusak dan binasa.
Ruh-ruh itu pergi, meninggalkan
tubuhnya yang kaku. Satu keluarga: ayah ibu dan anak yang kini terbang
menggapai langit dengan tangan yang saling menggenggam untuk meminta Tuhan
bersikap adil atas hal yang menimpanya. Dalam doa mereka terdengar, “…manusia….”. (Annisa Zahraa)
0 komentar:
Posting Komentar