9 April 2014

Mim dan Nun

Standard
Akhir-akhir ini hujan turun terus menerus. Kadang dengan tiba-tiba. Lalu segera reda digantikan sinar matahari yg menyilaukan.
Lalu bunga-bunga kecil muncul malu-malu, diketiak rumput mreka membisikkan cerita tentang nun dan mim.

Mim adalah seekor burung merpati jantan yang telah lama ditinggal mati istrinya nun.

Namun kisah mereka selalu diceritakan terus menerus, oleh angin hingga sampai dimulut mungil bunga rumput.

Bukan karena kisah yang mengharu biru, bukan. Namun karena selepas kematian nun, mim mengalami masa-masa hebat. Kepaknya tampak jauh lebih kuat, kicaunya jauh lebih merdu, dan gerakannya amat jauh lebih lincah. Namun, ia tak pernah tertarik untuk mencari pengganti nun.
Kau tahu apa yang ia lakukan, ia mengamati dari jauh, dimana nun biasanya berdiri. Ia menulis dan meneriakan nun dimanapun ia singgah. Kemudian ia berbuat baik pada apa yg biasanya nun berbuat baik. Ia melakukan semua yg biasa nun lakukan.

Seolah jiwanya adalah jiwa nun, lalu saat ia telah lelah dan semakin tua, tak juga ada niat ia untuk mengganti nun. Dan dalam akhir hayatnya, ia menjelma nun dan yang ia gumamkan adalah nafas-nafas kerinduan. Lalu matilah mim. Dan angin rumput pohon awan bumi dan daun ranting berdoa pada Tuhan, agar mim dipertemukan dengan nun, di kehidupan abadi.

Begitulah ceritanya. Entahlah, mengapa kisah itu jadi terasa menggetirkan, seperti saat Ibrahim As meninggalkan Hajar di padang gersang tanpa tuan. Bersama bayi kecil yang bahkan baru dilahirkan, ini perintah Tuhan. Dan sekali-kali saat perpisahan itu, Ibrahim As menoleh dan merasa tak tega, dan bunda Hajar tegar dalam ujian. Ahhhhhh, ini lebih luar biasa.

Mim dan nun, seolah tak ada di dunia ini, kecuali mereka yang menyembunyikan hatinya. Adakah, masih adakah.

Alhamdulillah.
Allahumma solli ala Muhammad.

Az.