10 Desember 2014

Terlahir lagi dengan Lagu Kematian

Standard
Sudah sejak 2 tahun lalu, aku vakum menulis cerpen, dulu masa yang membanggakan mungkin, 2012. saat beberapa kali cerpen-cerpen itu dimuat di media lokal. Ada rasa bahagia, tak percaya, kok aku bisa menulis?

Aku tidak tahu, jariku hanya bergerak, dan kepalaku terus mengayuh, mencari pembenaran atas imajinasi yang tak bisa kubatasi. aku melamunkan diriku sendiri dan melamunkan banyak hal, terutama hal-hal yang memang ingin kusampaikan dengan cara yang tak biasa. katakanlah lagu kematian, cerpen ini telah mengganggu waktu normalku, ia terus menghentka-hentak minta dituliskan.

temanya hanya sederhana: kematian, tapi dibalik kematian itu aku ingin menyampaikan betapa banyak mati yang konyol sia-sia, padahal untuk sebuah nyawa kita rela membayar jutaan di rumah sakit yang tiada segan menarifkan harga tak kira-tanpakasih.

lebih jauh, aku menyindir diriku sendiri, yang kere dengan karya, aku tak menghasilkan apa-apa, tidak sebuah cerita bahkan tidka pula uang.

Lalu, aku terus menulis saja sesukaku, merasa terlahirkan. Adapun ide utama tentang Bunda, adalah nyata. Beliau adalah sahabat dari emak yang amat kusayangi yang teah terebih dahulu berpamit 1 Agustus lalu. Bulan ini, hari ibu, aku ingin menulis cerpen lagi tentang ibu, tentang ibu, mungkin setelah lagu kematian ini, aku akan menulis lagi cerpen yang lainnya, Ibu, Jas Hujan, Nun, kebun bayam, sampai skripsi yang tak kelar.

Seorang cerpenis mestilah humanis, aku hanya berusaha mewujudkan itu, biarkan aku menajdi hujan, atau api, atau udara, atau tanah, dan menyatulah diriku dalam kara-kata.

Untuk hidup yang tak boleh biasa, aku kembali akan menulis cerpen, aku akan hidup dengannya, bermesra dengannya. Mungkin, jika tak bisa denganmu, aku bisa menuliskan satu nama dalam cerpenku, semauku bukan? dan nama itu kupinjam sebagai seseorang.

Selamat lahir lagi Az.
Biarkan lagu kematian sebagai penghantar, karena kematian hanyalah awalan, bukan?

0 komentar:

Posting Komentar