Di kamar redup yang berantakan dengan kertas, sebuah leptop menyala terang, tiga program beroperasi bersamaan. Sebuah film anime Jepang terkenal sedang dimainkan, jari-jemari mengetik, dan sebuah lakon tengah dimainkan. Pekerjaan yang sebenarnya di aplikasi lain, word, meminta segera diketikan sesuatu berbahasa asing...
Ada banyak sekali tugas yang harusnya dirunut dan diselesaikan satu-satu, tentang membuat resume (jurnal kuliah), proposal thesis, juga ngakngiknguk lain yang aku enggan menyebutnya sebagai beban. Semua slelau berhasil dikerjakan dan berlalu, hanya saja aku harus lebih serius sekarang. Sudah cukup label si tukang deadline, sudah cukup label ini itu, tapi mengapa masih sering muncul dalam kepalaku ide yang tak baik? ide untuk menunda dan melakukannya di akhir waktu.
Ada prioritaas yang seharusnya kita pilah untuk di pilih, tapi semua itu memang harus dan akan dikerjakan. Hanya karena semua terasa serba sulit, bingunglah kita memulainya... biarkanlah semuanya berlalu, jangan lupakan alarm kehidupan, apa yang sedang kucari sebenarnya?
Saat pertemuan di sebuah taklim dengan seorang akhwat, beliau mengatakan tentang oreintasi seorang hamba. Dulu katanya, saat beliau belum menikah...beliau sangat konsentrasi untuk menjadi mahasiswa terbaik, segalanya demi nilai terbaik, dan orientasi itu berujung pada kehidupannya yang serba kerja keras dan tidka tenang.... Beliau kini sudah menikah, ada ketenangan yang dirasakannya jauh lebih kuat, oreintasi bukan lagi mendapatkan nilai terbaik, atau jadi mahasiswa terbaik... tapi bagaimana ia mendapat ridho suami dengan menjadi istri yang baik, bagaiamna menyenangkannya dalam ketaatan dan kepatuhan... ya salah satunya ia mampu mengerjakan tugas tepat waktu, karena jika saja ia berleha dan keteteran ada banya urusan penting lainnya yang akan terbengkalai, seperti menjadi cuek atau abai pada suami, misalkan. Semua tindak-tanduknya diukur dengan orientasi yang lebih jauh, yakni keridoan Allah... tdak ada lag dalam hati iri pada teman yang nilainya besar, atau dengki pada teman yang aktif seklai di kelas, karena itu sudah merupakan perhiasan yang baginya tak menarik lagi... Masya Allah..
Dari yang kudengar itu aku mencoba mencari hikmah, tidak smeata ia mengatakannya jika bukan karena Allah menyayangiku.. lalu menunjukinya gara berkata demikian padaku.
Kurenungkan maknanya dengan diam, apakah aku pun akan demikian... saat ini semuanya serba tipuan, termasuk tipuan kesibukan yag seolah ada padaku, benarkah aku sibuk? Apa yang menajdi kesibukanku?
Apa kah semuanya akan seprti itu, apakah setiap orang akan menjadi sadar orientasinya saat sudah menikah, lalu jika tak sadar bagaimana walau sudah menikah? aku khawatir pertanyaan terakhir itu terjadi padaku.
Aku masih asyik mengetik di kamar yang redup. Punggung kutegakkan lurus, kaki kulipat dan tangan-tangan mulai mengetik. Pikiranku terlalu cepat memberi kode, banyakk sekali kata yang ditulis terbalik karen ajariku tak mampu mengimbangi pikiranku yang loncat ke sana-kemari...
AKu mulai akan mencerna perkataan selanjutnya dari akhwat tadi, tentang ridho.
Ridho seorang gadis terletak pada orangtuanya, sebelum ia mengkhidmat pada suaminya.
Jadi orientasi itu bisa dimulai sejak saat ini, saat belum menikah, saat kita terobsesi menjadi orang baik, kita sadar motivasinya adalah orang tua. Kita sering berjauhan dengan ibu dan bapak, dan berbuat baik kepadanya menjadi sangat susah karena jarak dan waktu, siapa tahu, dengan kita menajdi orang baik di sini (atau dimanapun), maka Allah akan memberkahi orangtua kita dengan mendatangkan orang baik kepada mereka berdua... karena doa-doa kita dari jauh, atau sbeab apapun yang menyebabkan Allah meridoi kita dan keluarga.
Adapun ada satu kebaikan terkahir yang bisa dipersembahkan seorang anak pada orang tuanya sebelum ia menikah: mengikuti keinginan orang tua selama itu tidak bertentangan dengan syariat.
Aku diam sejenak mendengar kalimat terakhir darinya, kebaikan terakhir yang dilakuakns ebleum meniakh adalah, mengikuti keinginan orang tua...
Saat seorang gadis memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki, secara agama gadis itu lebih utama khidmat pada suaminya, karena ikatan pernkahan adalah perjanjian yang teguh antara suami dan wali (ortu), dimana suami mengambil alih peran ortu untuk bertanggungjawab penuh pada istri baik lahir batin, dunia dan akhirat.
Saat sudah bersuami, maka seorang istri tidak bisa lagi berbuat sesukanya, ia dituntun secara agama untuk meminta kerelaan suaminya. Termasuk berhubungan dengan orang tua. Yah, walau banyak sekali orang tua sekarang tidak mampu menerima kenyataan itu, dan mengatakan itu dogma semata... Tapi seorang suami yang saleh tentu akan paham bagaimana hubungan dirinya dan istrinya terhadap orang tua dan mertua.
Dalam hal ini, kita sedang belajar merenda sebuah jembatan yang bahan utamanya dari benang woll. Aku seperti merenda dari ujung sini, juga kau merendanya dari ujung sana. Aku ingin berbuat banyak untuk orang tuamu, juga kamu ingin memberikan yang terbaik untuk orang tuaku. Begitulah ungkapan yang pantas untuk dua orang yang akan membangun keluarga. Kita sangat berhati-hati, jangan smapai jarumnya patah, atau serampangan menggunting benang.
Kebaikan terakhir yang bisa kupersembahkan untuk ibuku juga bapakku adalah mengikuti kehendaknya dengan terus bersabar dan memperbaiki diriku, mengondisikan jiwaku agar lebih memiliki kelapangan hati atas apa yang aku alami, aku lalui dan aku rasakan. Semoga dengan itu, kebarokahan dalam menantimu menjadi terasa oleh semua orang.
Ada sekali banyak yang ingin kutulis tentang berantakannya kamar-kamar jiwa. Namun semua seolah lenyap, aku takut salah menulis, aku pun takut salah berkata. Aku tidak ingin merusak rencana Allah, termasuk ketidakmampuanku menjaga perasaan.
Apakah menyukaimu adalah sesuatu yang salah, jika itu terjadi saat ini?
Aku tidak mengerti. Kondisiku sangat tidak bagus jika ditanyakan tentang ini. Dalam kondisi apapun, aku berusaha ingin ridho pada takdir Allah, termasuk jika orang yang aku nanti bukan kamu.
Ada banyak kebijaksanaan yang kita lewatkan jika kita terburu-buru mengakhiri penantian ini, mungkin itu salah satu hikmahnya, bahwa waktu pada akhirnya akan membawa kita pada tempat dan orang yang tepat.
Setiap hal telah terukur dengan benar, porsinya dan kadarnya, tapi kita sellau tidak tenang sebelum semuanya menjadi pasti... ah bukan kita, tapi aku, aku yang tidak bisa tenang.. aku tahu ada banyak rindu yang aku ingin menutupinya dari mataku tentang kamu, aku ingin menghindarimu, aku tidak ingin berbicara lagi... tapi semua ke-tidak-inginan itu menjadi satu: aku ingin.
Apa yang menajdikan aku sellau serba salah, aku hanya harus mengikuti waktu saja, hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan-ke bulan. Sudah cukup aku menyadarinya, bahwa tidak terasa satu tahun telah berlalu, juga saat ini, aku hanya harus diam, tidak membuat onar dan smeuanya akan terjadi... menagpa hatiku risau terus menerus? Apakah aku takut terhadap karunia Allah?
Kamar masih berantakan, neuronku penuh, sinaps terbangun terjalin kuat, dan aku mendnegar suara adzan yang dihantarkan udara melaluii celah-celah jendela... aku terlampau memelihara khauf, lalu roja kemana... kemana harapan itu? Jika ternyata harapan itu sedang membersamaimu, di tempat yang jauh, yang aku tak tahu. Suatu saat ketakutan dan harapan itu akan menjaidkan kita kuat, satu sama lain.
Duhai pemilik alam semesta, yang kepadanya tertuju segala kebaikan, puji, dan kesempurnaan...beri kami hidayah untuk tetap mensyukuri nikmat, dan sellau berada dalam jalan yang Engkau ridhai, aamiin... ya Allah ya Rabbal alamin.
Az, 1/3/17
Ada banyak sekali tugas yang harusnya dirunut dan diselesaikan satu-satu, tentang membuat resume (jurnal kuliah), proposal thesis, juga ngakngiknguk lain yang aku enggan menyebutnya sebagai beban. Semua slelau berhasil dikerjakan dan berlalu, hanya saja aku harus lebih serius sekarang. Sudah cukup label si tukang deadline, sudah cukup label ini itu, tapi mengapa masih sering muncul dalam kepalaku ide yang tak baik? ide untuk menunda dan melakukannya di akhir waktu.
Ada prioritaas yang seharusnya kita pilah untuk di pilih, tapi semua itu memang harus dan akan dikerjakan. Hanya karena semua terasa serba sulit, bingunglah kita memulainya... biarkanlah semuanya berlalu, jangan lupakan alarm kehidupan, apa yang sedang kucari sebenarnya?
Saat pertemuan di sebuah taklim dengan seorang akhwat, beliau mengatakan tentang oreintasi seorang hamba. Dulu katanya, saat beliau belum menikah...beliau sangat konsentrasi untuk menjadi mahasiswa terbaik, segalanya demi nilai terbaik, dan orientasi itu berujung pada kehidupannya yang serba kerja keras dan tidka tenang.... Beliau kini sudah menikah, ada ketenangan yang dirasakannya jauh lebih kuat, oreintasi bukan lagi mendapatkan nilai terbaik, atau jadi mahasiswa terbaik... tapi bagaimana ia mendapat ridho suami dengan menjadi istri yang baik, bagaiamna menyenangkannya dalam ketaatan dan kepatuhan... ya salah satunya ia mampu mengerjakan tugas tepat waktu, karena jika saja ia berleha dan keteteran ada banya urusan penting lainnya yang akan terbengkalai, seperti menjadi cuek atau abai pada suami, misalkan. Semua tindak-tanduknya diukur dengan orientasi yang lebih jauh, yakni keridoan Allah... tdak ada lag dalam hati iri pada teman yang nilainya besar, atau dengki pada teman yang aktif seklai di kelas, karena itu sudah merupakan perhiasan yang baginya tak menarik lagi... Masya Allah..
Dari yang kudengar itu aku mencoba mencari hikmah, tidak smeata ia mengatakannya jika bukan karena Allah menyayangiku.. lalu menunjukinya gara berkata demikian padaku.
Kurenungkan maknanya dengan diam, apakah aku pun akan demikian... saat ini semuanya serba tipuan, termasuk tipuan kesibukan yag seolah ada padaku, benarkah aku sibuk? Apa yang menajdi kesibukanku?
Apa kah semuanya akan seprti itu, apakah setiap orang akan menjadi sadar orientasinya saat sudah menikah, lalu jika tak sadar bagaimana walau sudah menikah? aku khawatir pertanyaan terakhir itu terjadi padaku.
Aku masih asyik mengetik di kamar yang redup. Punggung kutegakkan lurus, kaki kulipat dan tangan-tangan mulai mengetik. Pikiranku terlalu cepat memberi kode, banyakk sekali kata yang ditulis terbalik karen ajariku tak mampu mengimbangi pikiranku yang loncat ke sana-kemari...
AKu mulai akan mencerna perkataan selanjutnya dari akhwat tadi, tentang ridho.
Ridho seorang gadis terletak pada orangtuanya, sebelum ia mengkhidmat pada suaminya.
Jadi orientasi itu bisa dimulai sejak saat ini, saat belum menikah, saat kita terobsesi menjadi orang baik, kita sadar motivasinya adalah orang tua. Kita sering berjauhan dengan ibu dan bapak, dan berbuat baik kepadanya menjadi sangat susah karena jarak dan waktu, siapa tahu, dengan kita menajdi orang baik di sini (atau dimanapun), maka Allah akan memberkahi orangtua kita dengan mendatangkan orang baik kepada mereka berdua... karena doa-doa kita dari jauh, atau sbeab apapun yang menyebabkan Allah meridoi kita dan keluarga.
Adapun ada satu kebaikan terkahir yang bisa dipersembahkan seorang anak pada orang tuanya sebelum ia menikah: mengikuti keinginan orang tua selama itu tidak bertentangan dengan syariat.
Aku diam sejenak mendengar kalimat terakhir darinya, kebaikan terakhir yang dilakuakns ebleum meniakh adalah, mengikuti keinginan orang tua...
Saat seorang gadis memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki, secara agama gadis itu lebih utama khidmat pada suaminya, karena ikatan pernkahan adalah perjanjian yang teguh antara suami dan wali (ortu), dimana suami mengambil alih peran ortu untuk bertanggungjawab penuh pada istri baik lahir batin, dunia dan akhirat.
Saat sudah bersuami, maka seorang istri tidak bisa lagi berbuat sesukanya, ia dituntun secara agama untuk meminta kerelaan suaminya. Termasuk berhubungan dengan orang tua. Yah, walau banyak sekali orang tua sekarang tidak mampu menerima kenyataan itu, dan mengatakan itu dogma semata... Tapi seorang suami yang saleh tentu akan paham bagaimana hubungan dirinya dan istrinya terhadap orang tua dan mertua.
Dalam hal ini, kita sedang belajar merenda sebuah jembatan yang bahan utamanya dari benang woll. Aku seperti merenda dari ujung sini, juga kau merendanya dari ujung sana. Aku ingin berbuat banyak untuk orang tuamu, juga kamu ingin memberikan yang terbaik untuk orang tuaku. Begitulah ungkapan yang pantas untuk dua orang yang akan membangun keluarga. Kita sangat berhati-hati, jangan smapai jarumnya patah, atau serampangan menggunting benang.
Kebaikan terakhir yang bisa kupersembahkan untuk ibuku juga bapakku adalah mengikuti kehendaknya dengan terus bersabar dan memperbaiki diriku, mengondisikan jiwaku agar lebih memiliki kelapangan hati atas apa yang aku alami, aku lalui dan aku rasakan. Semoga dengan itu, kebarokahan dalam menantimu menjadi terasa oleh semua orang.
Ada sekali banyak yang ingin kutulis tentang berantakannya kamar-kamar jiwa. Namun semua seolah lenyap, aku takut salah menulis, aku pun takut salah berkata. Aku tidak ingin merusak rencana Allah, termasuk ketidakmampuanku menjaga perasaan.
Apakah menyukaimu adalah sesuatu yang salah, jika itu terjadi saat ini?
Aku tidak mengerti. Kondisiku sangat tidak bagus jika ditanyakan tentang ini. Dalam kondisi apapun, aku berusaha ingin ridho pada takdir Allah, termasuk jika orang yang aku nanti bukan kamu.
Ada banyak kebijaksanaan yang kita lewatkan jika kita terburu-buru mengakhiri penantian ini, mungkin itu salah satu hikmahnya, bahwa waktu pada akhirnya akan membawa kita pada tempat dan orang yang tepat.
Setiap hal telah terukur dengan benar, porsinya dan kadarnya, tapi kita sellau tidak tenang sebelum semuanya menjadi pasti... ah bukan kita, tapi aku, aku yang tidak bisa tenang.. aku tahu ada banyak rindu yang aku ingin menutupinya dari mataku tentang kamu, aku ingin menghindarimu, aku tidak ingin berbicara lagi... tapi semua ke-tidak-inginan itu menjadi satu: aku ingin.
Apa yang menajdikan aku sellau serba salah, aku hanya harus mengikuti waktu saja, hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan-ke bulan. Sudah cukup aku menyadarinya, bahwa tidak terasa satu tahun telah berlalu, juga saat ini, aku hanya harus diam, tidak membuat onar dan smeuanya akan terjadi... menagpa hatiku risau terus menerus? Apakah aku takut terhadap karunia Allah?
Kamar masih berantakan, neuronku penuh, sinaps terbangun terjalin kuat, dan aku mendnegar suara adzan yang dihantarkan udara melaluii celah-celah jendela... aku terlampau memelihara khauf, lalu roja kemana... kemana harapan itu? Jika ternyata harapan itu sedang membersamaimu, di tempat yang jauh, yang aku tak tahu. Suatu saat ketakutan dan harapan itu akan menjaidkan kita kuat, satu sama lain.
Duhai pemilik alam semesta, yang kepadanya tertuju segala kebaikan, puji, dan kesempurnaan...beri kami hidayah untuk tetap mensyukuri nikmat, dan sellau berada dalam jalan yang Engkau ridhai, aamiin... ya Allah ya Rabbal alamin.
Az, 1/3/17