Menulis
adalah mengayun emosi. Bagaimanapun menulis kembali sisa-sisa kenangan
masalalu, membuatku harus banyak diam. Dengan diam aku merasa sunyi, dan hanya
melalui sunyi, cerita ini pun mengalir, menetes seperti air dicelah-celah batu,
membasahi permukannya yang mengkilap di terpa sinar mentari pagi hari.
Malam
ini, di depan leptop merah, aku memejamkan mata yang memang sejatinya ia ingin
terpejam, sudah tiba saatnya dia beristirahat, tapi tidak… ada hati yang terus
menerus berteriak, agar ia membuka kelopak. Mengapa protes? Ada tangan-tangan
lentik yang minta menari di atas keyboard demi sebuah catatan perjalanan,
tentang LPDP. Bukankah ini malam deadline?
Aku
lelah, aku ingin istirahat. Siang tadi perjalanan hampir 100 km kutempuh dari
ujung Tasikmalaya Selatan hingga Bandung Utara, dengan mengendarai motor.
Bayangkan seorang seorang perempuan, siapa yang tak lelah? Ditambah lagi ada
janji yang harus ditepati, tentang amanah membimbing anak membaca permulaan,
demi amal demi ilmu, rasa lelah tak boleh dirasa… lagi pula aku pun merasa malu
dengan yang sudah memberi dana. Seorang awardee pantang baginya menyerah pada
keadaan. Tidak mengenal kata lelah dan mengeluh, ayolah mulai mengetik bujuknya
lagi.
Matapun
terbuka, ia harus lebih ikhlas mmenerima segala bujukan hatinya.
Sebuah catatan
perjalanan pun dirangkai, tentang air mata dan kekukuhan tekad, keangkuhan
mimpi, besarnya harapan, dan tingginya cita-cita.
Lihat
lah ia dulu, seorang anak SD yang bahkan tak tahu rumahnya dimana, tak tahu
bagaimana nasibnya esok hari, tak mengerti dengan perihnya kehidupan yang
jalani, kini ia sudah kuliah, bahkan s2. LPDP bahkan mungkin adalah bagian dari
doa-doanya di masa kecil, bagaimana bisa?
Semenjak
ia relakan dirinya diadopsi, sma sekali, ia tak ingin merepotkan keluarga
barunya. Toh baginya, hidup dengan memiliki rumah pun sudah istimewa, kini
bahkan keluarga, ia punya keluarga baru, satu harapannya ia ingin sekolah
dengan tanpa merepotkan orang tua angkatnya.
Semenjak
itu, tak ada yang dibacanya setiap malam kecuali doa-doa melaluii surat yasin
bahkan sampai 3 kali bolak-balik, itu nasihat Emak, “Jika inginkan sesuatu pada
Allah, mintalah dengan perantara
kebarokahan Surat yasin. Ya Rabb satu saja keinginannya, ingin sekolah
setinggi-tingginya.
Ia
melihat, ketujuh kakaknya hamper semua tamatan SD. Laki-laki menjadi buruh
bangunan, perempuan jadi petani atau sekedar jadi ibu rumah tangga tanpa kemampuan
ataupun keterampilan, hidup serba sulit, dan ah tentu saja kesulitan itu selalu
jadi pemicu ketidak-rukunan antara satu dengan yang lain.
Kita
pun mestinya sadar ya, bahwa hidup kita ini mestilah punya berbedaaan (sebuah
keistimewaan), sudah waktunya melakukan sebuah tranformasi. Apa yang bisa
kulakukan?
2011, Allah
jawab mimpi itu dengan adanya program bidikmisi yang baru berjalan 2 tahun.
2016, Allah
jawab mimpi itu dengan adanya program BPI-LPDP yang baru berjalan beberapa
tahun-tahun ini juga.
Bagaikan
sebuah puzzle, mimpi itu telah Allah susun dan rangkai dengan indah. Semudah
itukah mendapatkannya? Tentu saja tidak, ada sebuah proses yang panjang.
Pertama kalinya 2014, mulai terdengar nama LPDP dari seorang dosen, “Sekarang
untuk s2 akan jauh lebih mudah karena pemerintah sudah mengalokasikannya dari
dana abadi, namanya lpdp, lembaga pengelola dana pendidikan, yang dipantau
langsung oleh kemetrerian keuangan.”
Hmmmmm, LPDP,
S2?
S1
pun belum selesai, bahkan tersendat-sendat, keuangan bidikmisi yang berkisar Rp
600 ribu, lebih banyaknya tak mampu mengcover
kebutuhan sebagai seorang mahasiswa yang hidup di kota besar. Mungkinkah bisa
melanjutkan, atau…
Waktu
memang seperti air disungai, satu kali lewat, ia menyentuh jemari kita, kita
tak akan sanggup membuat air yang sama kembali, ia akan terus berlalu menuju
muara… begitupula, perkuliahn s1 usai, dan sebagai sarjana tanpa pengalaman,
mengalami masa yang disebut dengan shock
society, mengalami masa transisi yang luar biasa, anatara dunia kampus, dan
dunia nyata di masayarakat. Setelah wisuda, kita dihadapkan banyak pilihan.
Pilihannya adalah bekerja, menikah, pulang kampong, atau sekolah lagi.
Mana
yang harus kuambil? Aku melihat di sekitarku, setiap detail dan ciri idealism
mulai tertanggalkan satu-satu, dunia nyata lebih menuntut kita memiliki
kemampuan-kemmapuan praktis. Banyak yang banting haluan, sarjana pendidikan
tapi bekerja menjadi pegawaii ,
pengusaha, politikus… ah mereka bilang inilah dunia yang nyata, kampus hanyalah
miniature. Jika idealism tak bisa damai dengan kenyataan, maka berdamailah
dengan diri sendiri…
Aku
sendiri?
Berdamai
dengan kenyatan membutuhkan waktu yang lama, aku tak rela menanggalkan statusku
sebagai seorang sarjana pendidikan untuk sebuah kedai ramen yang ingin
kurintis. Aku berusaha merenung, apa yang kubutuhkan? Teringatlah sebuah nama
yang dulu terngiang-ngiang di kelas, LPDP, lanjutkan sekolah ke s2 menambahh
ilmu, membuka mata, memperluas cakrawala.
UPI Tasikmalaya,
2015, taka da satupun alumni yang berhasil mendapatkan LPDP dari kampusku.
Entah, karena alasan apa, mungkin karena kebanyakan karena alumni kampus kami
tidak mendaftar…
Let to be the
first! Aku ingin jadi orang yang pertama, jika memang belum ada.
LPDP… terus
terngiang, sampai suatu hari karena tak tahan lagi dengan dengungnya, aku
terpakas mendownload panduan, memprint persyaratan yang mungkin mudah. Pertama
kali yang dilakukan adalah meminta surat rekomendasi pada dosen, sebagai bentuk
integritas, setidaknya kita menjaid sangat termotivasi dengan ditanda-tanganinya
rekomendasi tersebut.
(Penghujung Desember 2016)
Az.