Mengedit
sebuah karya, seperti terjerumus kedalam karya itu sendiri. Mengaduk-aduk
perasaan, menyelami kata dan isyarat maknanya. Memang asyik, tapi melelahkan
jika tidak sepenuh hati.
Di pagi buta ini, aku
telah duduk dan siap kembali menyabik-nyabik karya. Peralatannya sudah
terkumpul, pisau pikiran yang focus dan tajam, dua cawan yang mengimpun darah
salahnya, dan sedikit penghilang sakit, kopi hitam manis. Mimpiku untuk sebuah
organisasi kepenulisan: membuat sebuah buku perdana, “Antologi Cerpen” menjadi
pemicunya. Buku ini harus “harus” terbit sebelum masa kepercayaan ini berlalu.
Sebelum mentari pergi dan hanya nama yang dijadikan pajangan untuk dikenang.
Sebelum 05 Pebruari nanti.
Dalam hidupku, inilah
satu-satunya organisasi yang sangat kunikmati perjalanannya. Sangat terasa
hari-harinya, mulai dari nol saat ada tekad untuk merubah haluannya, mulai dari
mengandung dengan rasa bebannya dan sampai saat anak itu telah lahir, kini
sedang belajar mengunyah kata….dan mendengar banyak bunyi.
“Semangat Zahraa….!” Bisik
bathinnya sendiri.
Ada banyak cara Tuhan
untuk menguji mimpinya ini, telah banyak tangisan yang ia berikan untuk
melahirkan mimpi ini. Terluka memang, ada. Tapi di sisi lain, Tuhan tak pernah
berhenti mengirimkan kecupan-kecupan penyemangat hatinya. Tuhan berikan ujian
sepaket dengan cara penyelesaiannya, Tuhan berikan sakit dihati sepaket dengan
obat pelipurnya, Tuhan berikan panas sepaket dengan kesejukannya. Tuhan berikan
kesempatan ini sepaket dengan akhir yang pasti menyenangkan. Yakini itu Zahraa.
Baru empat cerita pendek
yang ia rampungkan dan terasa sempurna baik dalam pemilihan kata, penulisan
kata, tata letak, dan tanda baca. Dan masih ada 21 cerpen lainya mengantri
untuk dibedah.
Ini bukan pertama kalinya
ia terus mengotak-atik cerpen ini. Namun selalu saja ada yang kurang lengkap di
matanya. Zahraa memang menginginkan yang terbaik untuk karya pertama ini, tak
ingin ada kesalahan pun luput dari pantauannya. Tak ingin, bahkan satu koma
atau titik pun harus berada pada tempatnya.
November, bulan ini
terlalu cepat berjalan kah? Ataukah mimpinya yang berjalan seperti keong, amat
sangat lambat? Mimpinya untuk menerbitkan dan melounching buku antologi
cerpen telah ia rancang sejak Juni lalu.
Dan memang jauh dari perkiraan, jika prosesnya akan sedemikian lama dan
rumit, sampai dengan kini nasibnya masih
terseok tanpa penyelesaian. Proses, ya proses.
“Zahraa, menulis itu bukan
masalah bagaimana tulisan ini cepat selesai dan buku segera jadi. Tapi menulis itu bagaimana kamu menghasilkan karya
yang baik, yang berkualitas, yang bukan sekedar tumpukan kata, yang bukan hanya
berisi kata-kata sampah tak guna.”
Astagfirulloh,
Subhanalloh, tamparan yang keras, tapi rasanya nasihat ini begitu menyejukan J.
Nasihat seorang tua, seorang kakak, atau seorang pemerhati, atau seorang kawan
kepadanya.
Benar, proses menulis itu
jauh lebih indah untuk dituliskan. Benar proses menulis itu jauh kebih
mengesankan dibanding menikmati tulisan dan berkata-kata rumit.
Kini tak ada lagi kata “main-main” dengan
proses. Kini tak ada lagi kata “asal jadi” dalam proses. Kini tak ada lagi kata
“menyerah” dalam proses. Proses bagi Zahraa seperti daur yang tak henti-henti
yang harus diperjuangkan dengan keras dan penuh perasaan. Proses, kata ini
begitu nikmat jika disandingkan dengan kata hamasah. Proses dan hamasah. Satu
paket. Aku dan kamu satu paket. Baca dan Tulis satu paket. Cinta dan Benci satu
paket.
Zahraa..
Satu paket tulisan ini,
naskah ini telah kugauli setiap malam, setelah hari-hari lalu kuabaikan ia, kubiarkan
sepi sendiri tanpa pemenuhan harapan.
Tanggal 22 November ini,
sore hari mudah-mudahan mendung, Zahraa berniat bertemu dengan orang yang akan
menjamah paket tulisannya lebih jauh di Bumi Siliwangi sana. Yang akan
menerbangkan kata dan ceritanya seperti kunang-kunang dimalam pekat. Yang akan
membuat dan menyuguhkan tarian untuk para pecinta hujan, langit dan senja
(adik-adik). Yang akan memberikan jawaban atas kegundahan hati para pujangga.
Naskah ini, satu paket,
telah kububuhi cinta. Setiap subuhnya kujejali ia dengan bumbu-bumbu kopi hitam manis dari cangkirku.
Naskah ini akan segera terbit akhir November ini, dan segera ku lounchingkan
dalam gemerincing rindu awal Desember. I will make it happened!
Keindahan dibulan Desember
akan terbit. Daku merindu. Biarkan hujan tetap datang, dan tanah gembira
menyambutnya, dan pohon bunga rumput bernyanyi riang. Biarkan mendung mendayung
sendu, daku tetap berjalan dan menjelmakan asa di hatiku sendiri. Hanya ketika
aku sendiri yang mengerti, dan akan tiba
pada akhirnya, merekapun akan mengerti: Jika langit basah bukan karena hujan,
melainkan karena sesuatu yang masuk kedalamnya, kedalaman hatinya.
Zahraa masih berkutat
dengan cerita yang menunggu ia bedah dengan secangkir kopi hitam manis. “Ini
proses Neng, bersemangatlah. Penulis hebat lahir dari seriusnya ia berproses!
Never Give up! Be Best, Be Strong, and Be Your Self. Tanpa citra dan penilaian
makhluk. Keep Do Best for your God, your parents and for everyone who loving
you.”
Zahraa tersenyum,
diliriknya kalender dan jam dinding kamarnya. 17 November 2013, 07:00. Tepat,
tanggal ini menakjubkan, dimana ia menyadari tentang hati, tentang pengorbanan,
tentang sakit, tentang keluarga, tentang cita-cita.
Tanggal ini pula dia dan
seorang sahabatnya bermimpi: Menjadi KAYA. Hehehe J
KAYA Hati, Kaya Harta, Kaya Harti, Kaya
karya. Aamiin.
Allahku, Rabbku, Tuhanku
yang Maha Lembut, Zahraa tersenyum memanggil-manggil nama Tuhannya. Terimakasih
ya Allah, hari ini begitu melegakan. Cintamu bukan cinta yang lain, akan kujaga
untuk senantiasa dan selamanya mengisi hari-hariku, menjadi penyemangatku,
menjadi inspirasi setiap tulisanku. Menjadi cinta yang kudendang disetiap
malamku. Biarlah hanya hati yang mengerti, ampuni kelalaian selama ini. Saat
ini Engkau pasti tengah mengawasiku, selalu mengawasiku, betapa sejuknya^_^.
I’am everything I’am, because You love me.....
Rancabango,
November di pagi hari.