16 November 2013

Catatan Harian Zahraa (Annisa Zahraa Bidadari Allah)

Standard


 Mengedit sebuah karya, seperti terjerumus kedalam karya itu sendiri. Mengaduk-aduk perasaan, menyelami kata dan isyarat maknanya. Memang asyik, tapi melelahkan jika tidak sepenuh hati.

Di pagi buta ini, aku telah duduk dan siap kembali menyabik-nyabik karya. Peralatannya sudah terkumpul, pisau pikiran yang focus dan tajam, dua cawan yang mengimpun darah salahnya, dan sedikit penghilang sakit, kopi hitam manis. Mimpiku untuk sebuah organisasi kepenulisan: membuat sebuah buku perdana, “Antologi Cerpen” menjadi pemicunya. Buku ini harus “harus” terbit sebelum masa kepercayaan ini berlalu. Sebelum mentari pergi dan hanya nama yang dijadikan pajangan untuk dikenang. Sebelum 05 Pebruari nanti.
Dalam hidupku, inilah satu-satunya organisasi yang sangat kunikmati perjalanannya. Sangat terasa hari-harinya, mulai dari nol saat ada tekad untuk merubah haluannya, mulai dari mengandung dengan rasa bebannya dan sampai saat anak itu telah lahir, kini sedang belajar mengunyah kata….dan mendengar banyak bunyi.
“Semangat Zahraa….!” Bisik bathinnya sendiri.
Ada banyak cara Tuhan untuk menguji mimpinya ini, telah banyak tangisan yang ia berikan untuk melahirkan mimpi ini. Terluka memang, ada. Tapi di sisi lain, Tuhan tak pernah berhenti mengirimkan kecupan-kecupan penyemangat hatinya. Tuhan berikan ujian sepaket dengan cara penyelesaiannya, Tuhan berikan sakit dihati sepaket dengan obat pelipurnya, Tuhan berikan panas sepaket dengan kesejukannya. Tuhan berikan kesempatan ini sepaket dengan akhir yang pasti menyenangkan. Yakini itu Zahraa.
Baru empat cerita pendek yang ia rampungkan dan terasa sempurna baik dalam pemilihan kata, penulisan kata, tata letak, dan tanda baca. Dan masih ada 21 cerpen lainya mengantri untuk dibedah.
Ini bukan pertama kalinya ia terus mengotak-atik cerpen ini. Namun selalu saja ada yang kurang lengkap di matanya. Zahraa memang menginginkan yang terbaik untuk karya pertama ini, tak ingin ada kesalahan pun luput dari pantauannya. Tak ingin, bahkan satu koma atau titik pun harus berada pada tempatnya.
November, bulan ini terlalu cepat berjalan kah? Ataukah mimpinya yang berjalan seperti keong, amat sangat lambat? Mimpinya untuk menerbitkan dan melounching buku antologi cerpen  telah ia rancang sejak Juni lalu. Dan memang jauh dari perkiraan, jika prosesnya akan sedemikian lama dan rumit,  sampai dengan kini nasibnya masih terseok tanpa penyelesaian. Proses, ya proses.
“Zahraa, menulis itu bukan masalah bagaimana tulisan ini cepat selesai dan buku segera jadi. Tapi  menulis itu bagaimana kamu menghasilkan karya yang baik, yang berkualitas, yang bukan sekedar tumpukan kata, yang bukan hanya berisi kata-kata sampah tak guna.”
Astagfirulloh, Subhanalloh, tamparan yang keras, tapi rasanya nasihat ini begitu menyejukan J. Nasihat seorang tua, seorang kakak, atau seorang pemerhati, atau seorang kawan kepadanya.
Benar, proses menulis itu jauh lebih indah untuk dituliskan. Benar proses menulis itu jauh kebih mengesankan dibanding menikmati tulisan dan berkata-kata rumit.
Kini tak ada lagi kata “main-main” dengan proses. Kini tak ada lagi kata “asal jadi” dalam proses. Kini tak ada lagi kata “menyerah” dalam proses. Proses bagi Zahraa seperti daur yang tak henti-henti yang harus diperjuangkan dengan keras dan penuh perasaan. Proses, kata ini begitu nikmat jika disandingkan dengan kata hamasah. Proses dan hamasah. Satu paket. Aku dan kamu satu paket. Baca dan Tulis satu paket. Cinta dan Benci satu paket.
Zahraa..
Satu paket tulisan ini, naskah ini telah kugauli setiap malam, setelah hari-hari lalu kuabaikan ia, kubiarkan sepi sendiri tanpa pemenuhan harapan.
Tanggal 22 November ini, sore hari mudah-mudahan mendung, Zahraa berniat bertemu dengan orang yang akan menjamah paket tulisannya lebih jauh di Bumi Siliwangi sana. Yang akan menerbangkan kata dan ceritanya seperti kunang-kunang dimalam pekat. Yang akan membuat dan menyuguhkan tarian untuk para pecinta hujan, langit dan senja (adik-adik). Yang akan memberikan jawaban atas kegundahan hati para pujangga.
Naskah ini, satu paket, telah kububuhi cinta. Setiap subuhnya kujejali ia dengan  bumbu-bumbu kopi hitam manis dari cangkirku. Naskah ini akan segera terbit akhir November ini, dan segera ku lounchingkan dalam gemerincing rindu awal Desember. I will make it happened!
Keindahan dibulan Desember akan terbit. Daku merindu. Biarkan hujan tetap datang, dan tanah gembira menyambutnya, dan pohon bunga rumput bernyanyi riang. Biarkan mendung mendayung sendu, daku tetap berjalan dan menjelmakan asa di hatiku sendiri. Hanya ketika aku sendiri yang mengerti, dan  akan tiba pada akhirnya, merekapun akan mengerti: Jika langit basah bukan karena hujan, melainkan karena sesuatu yang masuk kedalamnya, kedalaman hatinya.
Zahraa masih berkutat dengan cerita yang menunggu ia bedah dengan secangkir kopi hitam manis. “Ini proses Neng, bersemangatlah. Penulis hebat lahir dari seriusnya ia berproses! Never Give up! Be Best, Be Strong, and Be Your Self. Tanpa citra dan penilaian makhluk. Keep Do Best for your God, your parents and for everyone who loving you.”
Zahraa tersenyum, diliriknya kalender dan jam dinding kamarnya. 17 November 2013, 07:00. Tepat, tanggal ini menakjubkan, dimana ia menyadari tentang hati, tentang pengorbanan, tentang sakit, tentang keluarga, tentang cita-cita.
Tanggal ini pula dia dan seorang sahabatnya bermimpi: Menjadi KAYA. Hehehe J
KAYA Hati, Kaya Harta, Kaya Harti, Kaya karya. Aamiin.
Allahku, Rabbku, Tuhanku yang Maha Lembut, Zahraa tersenyum memanggil-manggil nama Tuhannya. Terimakasih ya Allah, hari ini begitu melegakan. Cintamu bukan cinta yang lain, akan kujaga untuk senantiasa dan selamanya mengisi hari-hariku, menjadi penyemangatku, menjadi inspirasi setiap tulisanku. Menjadi cinta yang kudendang disetiap malamku. Biarlah hanya hati yang mengerti, ampuni kelalaian selama ini. Saat ini Engkau pasti tengah mengawasiku, selalu mengawasiku, betapa sejuknya^_^. I’am everything I’am, because You love me.....
Rancabango, November di pagi hari.

0 komentar:

Posting Komentar