(Ini hanya sebuah catatan dari buku "Cintai Aku Karena Allah by Az, Just Share before Sell)
Bismillah....
Jika sempat membaca, bacalah, semoga berkah...
Mengapa Respon? Respon adalah tanggapan, saat engkau jatuh cinta atau...terluka.
1.
Apa yang kulakukan jika cinta
mengundang?
Akankah kukabarkan pada semesta
Atau hanya diam
Tapi, sungguh bodoh…
Halnya hujan, aku turun dan
berteriak
Sekencangnya jika hatiku tertawan
2.
Perasaan ini tiada berkurang dengan
diam
Perasaan ini tiada menepi dengan
sepi
Terkadang diam jauh lebih terhormat
daripada berkata
Begitupula cinta
Ada kala harus berpura
Dan membaginya hanya kepada gerimis
atau embun
Atau jika sungguh tak tertahan
Di sana sini masih ada Tuhan, bukan?
Hal
yang harus diperhatikan saat jatuh cinta, atau saat terluka adalah memeastikan
respon yang benar. Cinta yang benar selalu melahirkan ketenangan, dan cinta
yang berlandaskan ketenangan selalu jadi pemenang. Satu-satunya hal agar kita
mampu melewati masa-masa hati terlihat kritis adalah mendiamkan, sungguh ikan
akan terlihat hanya jika air tak keruh.
Ini
tentang respon, tentang sikap, tentang reaksi, ini tentang langkah pribadi yang
sepatutnya ditempuh. Janganlah kita berlebihan dalam setiap hal.
Mari
kuumpakan tentang seorang perempuan yang jatuh cinta. Lalu tiba-tiba ia
menyukai hal-hal yang melo, seperti senja, kesendirian, bintang, bangku taman
kota, atau bunga. Tidak mengapa, karena memang demikian fitrahnya. Yang
“mengapa-mengapa” adalah jika ia tak bisa menjaga lisannya, dan ia kabarkan
pada setiap yang ia temui tentang hatinya, sepuasnya, sampai tak ada yang
tersisa, tiada yang tersembunyi, dan hilanglah keindahan mencintai.
Akan
ada penyesalan yang dalam, bagi mereka yang terlalu cepat membuat embun
menetes. Seperti halnya buah karbitan, ia cepat masak, dan cepat pula busuk,
lagi rasanya masam. Beda sekali dengan buah yang matang di pohonnya. Begitupula
cinta.
Wahai
diriku, cobalah pelajari ini, bagaimana respon yang baik saat jatuh cinta atau
terluka.
- Tetaplah
tenang
Kulihat
dua angsa saling berpaut padu, menguntai kasih di danau biru. Tidakkah kita
melihat betapa tenangnya mereka, sungguh sebenarnya: dipermukaan mereka
terlihat sejuk nan diam tapi… lihat, coba kita lihat, kakinya sibuk mengayuh,
kakinya sibuk mengantam gelombang, agar tak tenggelam.
Saat
terluka karena cinta, atau saat bahagia ketika jatuh cinta, tetaplah tenang di
permukaan. Belajar tersenyum dan sembunyikan duka. Tetap tenang, lalu hati,
hati sibuklah berlari….. sibuklah berlari menempuh jalan-jalan cinta Tuhan.
Tidak perlu kau katakan pada manusia sebab mulut sering berdusta, sering tak
tepat janji, sering melebihkan, sering mengurangkan, senang mengkali bahkan
membagi yang tak patut dibagi. Sampai-sampai pada puncaknya sesal telah
terlambat: Gosip murahan beredar, dan cinta yang suci tak lagi dapat
dipercayai.
- Biarkan
ia sampai pada waktunya
Dan
seseorang menulis, saat ia menemui masalah, maka ia tanamkan dalam jiwanya,
bahwa semua akan ada saatnya. Begitupula cinta, ia masalah dan bukan masalah,
tergantung kita memberinya waktu atau tidak. Sungguh jadi bencana jika kita
terburu-buru. “Sungguh manusia itu makhluk yang tergesa-gesa.” Tak bisa sabar
dalam sesuatu yang amat ia ingini. Tak perlu terburu untuk menyatakan I love you. Tak perlu terburu untuk
bersama, tak perlu terburu untuk menuntaskan ingin hati yang membeludak,
berkasih-kasihan, dan mencurahkan rasa sayang. Seandainya kau lihat, kemampuan
untuk menikah tak ada.
Ini
berbeda untuk yang telah siap, justru ia dianjurkan untuk “menyegerakan.” Tak
ada yang Tuhan banggakan, kecuali seorang hamba yang men-segerakan kebaikan.
Bersatu dalam himpunan cinta yang dengan karunia itu tambah-tambahlah rasa
syukur kepadaNya, Tuhan akan memberikan berkah dan kemuliaan.
Dan
membiarkan cinta sampai batas waktu, melatih kita untuk tenteram, damai,
terhormat, dan menjaga. Biarkanlah ia indah, untai saja doa ke langit mintalah
kebaikan tentangnya. Ingatlah hati, “Toh meskipun jodoh kita bukanlah ia yang
selalu ada dalam doa kita. Namun semoga, jodoh kita adalah ia yang selalu
menyertakan nama kita dalam doanya.”
Bunga
akan mekar pada waktunya, kita hanya harus menunggu sambil menghebatkan diri.
Agar jika tiba masanya, tak ada lagi alasan menunda. Belajarlah dan carilah
ilmu, bergeraklah, dan berbahagialah.
- Berkhusnudzon
Ada
yang ketakutan, ada yang tak tenang, ada yang sangat cemas, takut-takut jika
cinta yang ia titipkan pada seseorang tak terbalas, terabai, bahkan hilang
tiba-tiba.
“Mengapa
harus diam? Aku takut,”ungkapnya.
“Apa
yang kau takuti?”
“Aku
takut, ia tak mengetahui hatiku. Lalu ia menjadi milik orang lain…”
“Lalu
bagaimana menurutmu?”
“Ah…
aku harus mengungkapkan kepadanya,”
“Lantas?
Kau memberi harapan dan lalu meninggalkannya untuk menunggu?”
Sungguh
kebodohan adalah meminta seseorang menunggu. Ini bukanlah cinta, melainkan
keegoisan. Maka sikap terhormat adalah kau diam, memampukan diri, lalu jadi
manusia yang berani.
Penyakit
minta ditunggu adalah penyakit trend saat
ini, bagi mereka yang mengaku cintanya terbebas nafsu. Dustalah ia! Bukankah
ini pun termasuk nafsu. Kecuali menunggu barang 1 bulan atau 3 bulan, untuk
kemudian menikah. Lalu meminta seseorang menunggu satu tahun bahkan lima tahun,
apakah ini bisa menjamin terbebas nafsu? Adalah bentuk nista dan egoism yang
tinggi.
Korban
penyakit ini adalah para perempuan yang setia dan soleha, ia akan memegang
janjinya, lalu tiba-tiba ada laki-laki soleh datang kepadanya, ia akan menolak
karena janji menunggu. Teramat dangkal dan menyiksa.
Maka
mulai saat ini, bebaskan dirimu dari ketakutan. Justru dengan membebaskan
ketakutan ini, kita akan paham arti dari “berkhusnudzon pada Allah”, toh
masalah jodoh tiada akan pernah tertukar.
Kita
dalami bagaimana cinta Ali kepada Fatimah, juga sebaliknya cinta Fatimah kepada
Ali. Tidakkah kita mau belajar?
Mereka
tak pernah saling ungkap, lalu meminta saling menunggu, atau memberi pesan
“tersirat” untuk menolak pinangan orang lain. Tidak pernah! Bahkan Ali diuji
dengan kabar Abu Bakar dan Umar meminang perempuan pujaan hatinya itu. Apakah
ia gentar? Tidak, kekuatan prasangkalah yang membuat ia tegar, Allah sungguh
Maha Pengasih. Ia mengetahui hati manusia satu persatu, mendengar doa yang
sangat halus tersembunyi. Seperti halnya hati Fatimah yang tersembunyi…
Maka
ketika keberanian itu seolah sirna, dan Ali hampir-hampir membandingkan dirinya
yang tak memiliki apa-apa dengan sahabat yang menurut ia memiliki apa-apa,
Allah tanamkan kemantapan ke dalam hati Ali, dengan menunjukkan Ali untuk
menghadap ayah Fatimah, ya Baginda Rasulullah.
Oh,
siapalah Ali…. Begitu mungkin Ali berpikir. Seorang pemuda tanpa harta, juga
tanpa kedudukan.
Namun,
lihatlah, oh lihatlah, siapa yang diterima Rasulullah sebagai mantunya? Ialah
Ali bin Abi Talib, pemuda yang hanya memiliki keberanian dan hati yang penuh
cinta kepada Allah.
Lalu
suatu ketika, saat Ali dan Fatimah telah berhimpun, Fatimah membuka rahasia
hatinya… jika ia pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan Ali terluka, siapa
kiranya yang membuat pujaan hatinya jatuh cinta di masa lalu?
Oh
mulianya sikap Fatimah, betapa agung pilihannya untuk diam di masa lalu, dan
kini ia ungkapkan pada suaminya…
“Siapakah
pemuda itu wahai istriku?” tanya Ali dengan beban tak terlihat.
“Pemuda
itu adalah………. engkau….”
Terpujilah
Allah, Engkau-lah Rabb yang menyampaikan cinta suci Fatimah pada pernikahan,
ketika ia bahagia dalam sunyi yang suci, memendam cinta dalam hening yang
bening.
Maka
diriku, berprasangkalah dengan prasangka yang baik, Allah lah yang memantapkan
keberanian itu, Allah lah yang memberi jawaban terbaik, Allah lah yang memahami
kita cocok dengan siapa, Allah lah yang segalanya….
“Sungguh
Allah ada bersama prasangka hamba-hambaNya.”