24 Juli 2014

RESPON

Standard
(Ini hanya sebuah catatan dari buku "Cintai Aku Karena Allah by Az, Just Share before Sell)

Bismillah....

Jika sempat membaca, bacalah, semoga berkah...
Mengapa Respon? Respon adalah tanggapan, saat engkau jatuh cinta atau...terluka.

1.
Apa yang kulakukan jika cinta mengundang?
Akankah kukabarkan pada semesta
Atau hanya diam
Tapi, sungguh bodoh…
Halnya hujan, aku turun dan berteriak
Sekencangnya jika hatiku tertawan
 2.
Perasaan ini tiada berkurang dengan diam
Perasaan ini tiada menepi dengan sepi
Terkadang diam jauh lebih terhormat daripada berkata
Begitupula cinta
Ada kala harus berpura
Dan membaginya hanya kepada gerimis atau embun
Atau jika sungguh  tak tertahan
Di sana sini masih ada Tuhan, bukan?

Hal yang harus diperhatikan saat jatuh cinta, atau saat terluka adalah memeastikan respon yang benar. Cinta yang benar selalu melahirkan ketenangan, dan cinta yang berlandaskan ketenangan selalu jadi pemenang. Satu-satunya hal agar kita mampu melewati masa-masa hati terlihat kritis adalah mendiamkan, sungguh ikan akan terlihat hanya jika air tak keruh.
Ini tentang respon, tentang sikap, tentang reaksi, ini tentang langkah pribadi yang sepatutnya ditempuh. Janganlah kita berlebihan dalam setiap hal.
Mari kuumpakan tentang seorang perempuan yang jatuh cinta. Lalu tiba-tiba ia menyukai hal-hal yang melo, seperti senja, kesendirian, bintang, bangku taman kota, atau bunga. Tidak mengapa, karena memang demikian fitrahnya. Yang “mengapa-mengapa” adalah jika ia tak bisa menjaga lisannya, dan ia kabarkan pada setiap yang ia temui tentang hatinya, sepuasnya, sampai tak ada yang tersisa, tiada yang tersembunyi, dan hilanglah keindahan mencintai.
Akan ada penyesalan yang dalam, bagi mereka yang terlalu cepat membuat embun menetes. Seperti halnya buah karbitan, ia cepat masak, dan cepat pula busuk, lagi rasanya masam. Beda sekali dengan buah yang matang di pohonnya. Begitupula cinta.
Wahai diriku, cobalah pelajari ini, bagaimana respon yang baik saat jatuh cinta atau terluka.

  1. Tetaplah tenang
Kulihat dua angsa saling berpaut padu, menguntai kasih di danau biru. Tidakkah kita melihat betapa tenangnya mereka, sungguh sebenarnya: dipermukaan mereka terlihat sejuk nan diam tapi… lihat, coba kita lihat, kakinya sibuk mengayuh, kakinya sibuk mengantam gelombang, agar tak tenggelam.
Saat terluka karena cinta, atau saat bahagia ketika jatuh cinta, tetaplah tenang di permukaan. Belajar tersenyum dan sembunyikan duka. Tetap tenang, lalu hati, hati sibuklah berlari….. sibuklah berlari menempuh jalan-jalan cinta Tuhan. Tidak perlu kau katakan pada manusia sebab mulut sering berdusta, sering tak tepat janji, sering melebihkan, sering mengurangkan, senang mengkali bahkan membagi yang tak patut dibagi. Sampai-sampai pada puncaknya sesal telah terlambat: Gosip murahan beredar, dan cinta yang suci tak lagi dapat dipercayai.

  1. Biarkan ia sampai pada waktunya
Dan seseorang menulis, saat ia menemui masalah, maka ia tanamkan dalam jiwanya, bahwa semua akan ada saatnya. Begitupula cinta, ia masalah dan bukan masalah, tergantung kita memberinya waktu atau tidak. Sungguh jadi bencana jika kita terburu-buru. “Sungguh manusia itu makhluk yang tergesa-gesa.” Tak bisa sabar dalam sesuatu yang amat ia ingini. Tak perlu terburu untuk menyatakan I love you. Tak perlu terburu untuk bersama, tak perlu terburu untuk menuntaskan ingin hati yang membeludak, berkasih-kasihan, dan mencurahkan rasa sayang. Seandainya kau lihat, kemampuan untuk menikah tak ada.
Ini berbeda untuk yang telah siap, justru ia dianjurkan untuk “menyegerakan.” Tak ada yang Tuhan banggakan, kecuali seorang hamba yang men-segerakan kebaikan. Bersatu dalam himpunan cinta yang dengan karunia itu tambah-tambahlah rasa syukur kepadaNya, Tuhan akan memberikan berkah dan kemuliaan.
Dan membiarkan cinta sampai batas waktu, melatih kita untuk tenteram, damai, terhormat, dan menjaga. Biarkanlah ia indah, untai saja doa ke langit mintalah kebaikan tentangnya. Ingatlah hati, “Toh meskipun jodoh kita bukanlah ia yang selalu ada dalam doa kita. Namun semoga, jodoh kita adalah ia yang selalu menyertakan nama kita dalam doanya.”
Bunga akan mekar pada waktunya, kita hanya harus menunggu sambil menghebatkan diri. Agar jika tiba masanya, tak ada lagi alasan menunda. Belajarlah dan carilah ilmu, bergeraklah, dan berbahagialah.

  1. Berkhusnudzon
Ada yang ketakutan, ada yang tak tenang, ada yang sangat cemas, takut-takut jika cinta yang ia titipkan pada seseorang tak terbalas, terabai, bahkan hilang tiba-tiba.
“Mengapa harus diam? Aku takut,”ungkapnya.
“Apa yang kau takuti?”
“Aku takut, ia tak mengetahui hatiku. Lalu ia menjadi milik orang lain…”
“Lalu bagaimana menurutmu?”
“Ah… aku harus mengungkapkan kepadanya,”
“Lantas? Kau memberi harapan dan lalu meninggalkannya untuk menunggu?”

Sungguh kebodohan adalah meminta seseorang menunggu. Ini bukanlah cinta, melainkan keegoisan. Maka sikap terhormat adalah kau diam, memampukan diri, lalu jadi manusia yang berani.

Penyakit minta ditunggu adalah penyakit trend saat ini, bagi mereka yang mengaku cintanya terbebas nafsu. Dustalah ia! Bukankah ini pun termasuk nafsu. Kecuali menunggu barang 1 bulan atau 3 bulan, untuk kemudian menikah. Lalu meminta seseorang menunggu satu tahun bahkan lima tahun, apakah ini bisa menjamin terbebas nafsu? Adalah bentuk nista dan egoism yang tinggi.
Korban penyakit ini adalah para perempuan yang setia dan soleha, ia akan memegang janjinya, lalu tiba-tiba ada laki-laki soleh datang kepadanya, ia akan menolak karena janji menunggu. Teramat dangkal dan menyiksa.
Maka mulai saat ini, bebaskan dirimu dari ketakutan. Justru dengan membebaskan ketakutan ini, kita akan paham arti dari “berkhusnudzon pada Allah”, toh masalah jodoh tiada akan pernah tertukar.
Kita dalami bagaimana cinta Ali kepada Fatimah, juga sebaliknya cinta Fatimah kepada Ali. Tidakkah kita mau belajar?
Mereka tak pernah saling ungkap, lalu meminta saling menunggu, atau memberi pesan “tersirat” untuk menolak pinangan orang lain. Tidak pernah! Bahkan Ali diuji dengan kabar Abu Bakar dan Umar meminang perempuan pujaan hatinya itu. Apakah ia gentar? Tidak, kekuatan prasangkalah yang membuat ia tegar, Allah sungguh Maha Pengasih. Ia mengetahui hati manusia satu persatu, mendengar doa yang sangat halus tersembunyi. Seperti halnya hati Fatimah yang tersembunyi…
Maka ketika keberanian itu seolah sirna, dan Ali hampir-hampir membandingkan dirinya yang tak memiliki apa-apa dengan sahabat yang menurut ia memiliki apa-apa, Allah tanamkan kemantapan ke dalam hati Ali, dengan menunjukkan Ali untuk menghadap ayah Fatimah, ya Baginda Rasulullah.
Oh, siapalah Ali…. Begitu mungkin Ali berpikir. Seorang pemuda tanpa harta, juga tanpa kedudukan.
Namun, lihatlah, oh lihatlah, siapa yang diterima Rasulullah sebagai mantunya? Ialah Ali bin Abi Talib, pemuda yang hanya memiliki keberanian dan hati yang penuh cinta kepada Allah.
Lalu suatu ketika, saat Ali dan Fatimah telah berhimpun, Fatimah membuka rahasia hatinya… jika ia pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan Ali terluka, siapa kiranya yang membuat pujaan hatinya jatuh cinta di masa lalu?
Oh mulianya sikap Fatimah, betapa agung pilihannya untuk diam di masa lalu, dan kini ia ungkapkan pada suaminya…
“Siapakah pemuda itu wahai istriku?” tanya Ali dengan beban tak terlihat.
“Pemuda itu adalah………. engkau….”
Terpujilah Allah, Engkau-lah Rabb yang menyampaikan cinta suci Fatimah pada pernikahan, ketika ia bahagia dalam sunyi yang suci, memendam cinta dalam hening yang bening.

Maka diriku, berprasangkalah dengan prasangka yang baik, Allah lah yang memantapkan keberanian itu, Allah lah yang memberi jawaban terbaik, Allah lah yang memahami kita cocok dengan siapa, Allah lah yang segalanya….
“Sungguh Allah ada bersama prasangka hamba-hambaNya.”


0 komentar:

Posting Komentar