11 Oktober 2014

GURU SD

Standard
Masih ingat, waktu itu saya kelas enam SD, diminta menulis biodata di sebuah buku harian teman. Cita-cita: saya dengan sangat percaya diri menulis Guru.
Waktu itu yang saya tahu, menjadi guru itu enak, tugasnya mudah... hanya mengajar dan berkumpul dengan kami, istirahat di kantor lalu pulang, jika ada kegiatan sekali-kali melatih kami, ato kalo mau apa-apa tinggal "nyuruh" ke murid, enak banget pokoknya.....

Lalu cita-cita itu mulai goyah waktu SMA, saat teman-teman saya ingin menjadi arsitek, dokter, pengacara, bahkan master IT, atau malah ingin jadi ahli hukum... saya mulai ciut, meskipun ada yang menjadi guru, tapi memilih menjadi guru SD..... tidak banyak.
Guru matematika, fisika, kimia, biologi... bahkan memilih jadi guru sejarah atau bahasa Indonesia dipandnag sebelah, apalagi guru SD... itulah pemikiran waktu SMA..

Waktu itu saya konsul ke seorang guru yang biasa jadi rival diskusi, Pak Ucep guru PPKN, yang tidak segan-segan mengurangi nilai PPKN karena tulisan saya menurutnya berbahaya: saat menulis artikel Malaysia atau Maling sia? waktu ulangan harian kelas 2 SMA.

"Pak, saya harus jadi apa ya, dengan karakter saya ini?"
"Kamu ilay, jadi pengacara saja, atau kalu kamu mau ke pendidikan kamu jadi pengamat saja, atau ke hukum..."

Saya diam seribu bahasa, memang sih keras kepala ini harusnya bermanfaat.
Lalu saat akan mengisi lembar snmptn sempat jari saya akan mengklik UNPAD lalu memilih hukum atau hubungan internasional, atau mengklik UIN Yogyakarta dan memilih Pendidikan Kimia wah pokoknya yang nampak keren di mata saya... Lalu ingatlah kepada orang tua di rumah... T_T.

Beliau meminta saya menjadi bidan atau perawat, atau analis, atau jadi guru SD. Pilihan yang membuat bingung. Di sisi lain menjadi bidan atau perawat membutuhkan pendanaan yang banyak, dan itu harus jadi perhitungan, keluarga kami tidak memiliki cukup uang T_T (jangan sampai untuk sekolah ibu dan bapak harus jual kebun atau sawah, oh No!), jadilah mulai memburu beasiswa, dan mulai memilih pilihan yang "realistis".

Waktu itu saya tetap memilih ingin jadi guru biologi dan memilih PGSD Tasikmalaya sebagai pilihan kedua. bismillah, sliiiiiiiiiiiiing... berkas beasiswa itu terkirim...

Selamat anda di terima di PGSD UPI Tasikmalaya. Tulisan yang harus saya telan pahit, sedang orang tua sangat bahagia. Pilihan ini sangat mengikat, saya tak bisa mundur, karena beasiswa bidikmisi harus diambil. Baiklah, jalani saja, toh takdir tak akan lari kemana...

Menjadi guru SD, adalah cita-cita yang saya tulis saat SD. Begitu yakin saya dapat menjadi seorang guru SD... dan kini saat S1 PGSD hampir saya selesaikan, seorang dosen bertanya kepada saya:
"Eli kamu mau jadi apa? Guru SD, Dosen, penulis, atau pengusaha?"
Dan kepala saya menggeleng lagi... ya Allah....
Mengapa diri ini seolah tiada puas-puasnya?
Mengapa masih tak mau jadi guru SD? Jika dulu saya bercita-cita jadi guru SD karena dianggap mudah, kini rasa berat jadi guru SD adalah karena karakter saya yang begitu sulit... astagfirullah ya Rabb...

Lalu setiap hari saya mencoba menyukai anak kecil, kebetulan kedua kakak saya memiliki si kecil berumur dua tahunan keduanya perempuan. Hana dan Qonita, setiap saya mudik saya gendong keduanya bergantian, saya peluk saya mandikan saya ciumi, saya ajak bermain, saya tidurkan.... dan rasa cinta itu muncul...
tetapi untuk mengajarinya? saya saya saya.....

Lalu setiap ada kesempatan saya baca terus bagaimana memperlakukan anak-anak, bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka belajar... tapi untuk masuk lemabag formal bernama sekolah, saya saya saya.........

Lalu setiap ada catatan tentang betapa bahagianya belajar dengan anak-anak, saya baca, siapa tahu termotivasi, ya benar saya iri, kok mereka bisa begitu dicintai dan dekat dengan manusia manusia polos itu?
Menjadi Guru SD, bukan pekerjaan mudah, saya belum ahli... lalu seorang kakak berkata: tenang Li, kamu belum PLP jadi ruh nya belum keluar...

Satu-satunya harapan saya ada di PLP, akan kah ruh itu benar-benar hadir? Bagaimana jika saya tak menikmatinya? Bagaimana jika saya malah disibukkan dnegan administrasi yang menjengkelkan?

Seorang trainer berkata pada saya, dulu saya seorang guru, lalu saya berhenti, saya ingin bertanya, tetapi beliau seperti tahu pertanyaan saya...
"Ya, kerana jadi guru mendidik bukan hanya dibatasi oleh sebuah kotak persegi bernama kelas.  Mungkin saya berhenti mendidik 30 anak dikelas, untuk bertemu dengan 3000 anak di seluruh pelosok negeri ini."

Guru SD? Saya masih percaya mereka lah pendulang-pendulang emas, yang akan kaya raya hatinya oleh kebajikan dan pengabdian.
Tapi hati ini, mengapa hati ini sangat "egois"?
Sejujurnya saya orang yang suka berbicara, dan ini modal baik untuk menjadi guru, namun menyadari toh jadi guru itu yang penting bukan hanya "kata-kata" tapi "hati yang menyertai". Jadi faktor suka berbicara ini bukan pertimbangan.

Tapi jujur kok, saya sadar jika kita adalah agen dakwah sebelum jadi apapun, kita adalah guru sebelum jadi apapun. Menjadi guru itu sebuah kepastian, jadi panggilan untuk berbagi itu ada di dada, saya suka sharing apapun, saya suka jadi pendidik, bangga malah....
Jadilah ini cita-cita sekolah yang ingin saya wujudkan... Sekolah Alam... Mewujudkan sekolah alam, itulah cita-citaku kini... berbaur dengan anak-anak yang berjiwa bebas, berpartner dengan manusia-manusia yang tidak terkungkung oleh sistem.. Itulah cita-cita saya, adakah yang mau dukung? Silakan sabotase impian ini, untuk kita wujudkan...

Saat kelas mengurung anak-anak kita, saya ingin alam yang terbentang luas ini jadi kelas anak-anak kami...
Namun, cita-cita biarlah jadi harapan, adakah jiwa ini mulai merasa terpanggil?

Az.

0 komentar:

Posting Komentar