Sekuntum bunga yang tumbuh di sebuah pot di sudut rumah akan berbeda dengan sekuntum bunga yang tumbuh di taman terbuka.
Ada banyak cerita yang akan di lewati oleh si bunga pot di sudut rumah. Tapi amboi, bunga di taman terbuka akan rentan sekali oleh jamah tangan pendosa.
Bukankah...
Sebagai bunga, ia tak bisa protes atau sesukanya berpindah tempat, ia hanya menerima.
Toh bunga yang di pot di sudut rumah, ia tak mampu berkata, mungkin saja ia tak pernah memimpikan pergi ke taman, bukan? Saat pagi hari si empunya datang menyiraminya, mengambil helai daunnya yang jatuh, ia begitu suka cita. Itu sudak cukup baginya.
Begitu juga, bunga di taman terbuka mungkin ia selalu menantikan seseorang di sana, sekedar lewat atau duduk sebentar, lalu bercakap padanya lewat seulas senyum. Itu telah membuatnya lebih bermekaran setiap harinya.
namun yangg pasti, diantara keduanya... tak pernah memimpikan apa yang ada di luar keduanya, sehingga menyiksa semuanya. Cukup, itu baginya sudah cukup.
Keduanya begitu tekun dan istikomah dengan rasa penerimaannya.
Keduanya lebih sibuk memikirkan nikmat daripada rasa inginnya atau mimpinya.
Apa yang telah ia terima kini jadi semacam mabuk yang meinmbulkan syukur...
Ya, posisi keduanya, tempat keduanya memang membuat ia dan ia akan berbeda..
Keduanya pasti berbeda...
Tapi masing-masing ia, masing-masing mereka menjadi dirinya.
Adapun aku bukan bunga, aku bisa bergerak dan memutuskan.
Entah untuk ke depan, jika saja rasa jenuh telah membuatku lelah jadi bunga liar di taman terbuka, dengan ijin Mu Rabb, sampaikanlah rasa ingin tertutupku, untuk jadi bunga di pot sudut rumah.
Rabbi...
Jika aku masih senang menjadi bunga yang amat liar, dalam pandangan mereka yang tak terjaga, dalam hidup yang peuh liku, ke sana-sini sendiri. Suatu saat, dimana aku sungguh merindukan sebuah hunian, yang amat sepi karena buah hati yang tidur pulas, lalu ku putar surat Al-kahfi perlahan...
Dimana, bukan debu jalan yang singgah di wajahku, tetapi asap debu dapur untuk menyenangkan perut si teman hidup. Akan ada dimana bunga menjadi mekar di pot rumah, setelah ia diambil dengan terhormat oleh tukang kebun taman, dan dihadiahkan pada anak sulungnya yang salih.
Lalu ditempatkannya aku di sudut rumah, memberikan warna wangi dan kesegaran hijau.
Setiap pagi, menyapaku, bahkan sebelum embun.
Lalu, dimana nikmat yang kudustakan.
Begitulah saat ini, aku masih menunggu takdirku, tentang tukang kebun yang akan datang padaku. Memindahkanku dengan hati-hati, pada tahun-tahun ini, atau tahun-tahun depan, saat kemarau berlalu, dan musim penghujan datang, mengusir pergi.
Hatiku telah bahagia, kini dengan memimpikannya, sudah cukup membahagiakan. Tak boleh ada yang berteriak di rumahku, cukup senyap, lalu senyuman, lalu tertawa yang di tahan, saling sapa, saling mendoakan, saling meyayangi, hanya itu.
Impian sekuntum bunga di taman belakang. Mungkin hanya bunga rumput, yang tetiba bermimpi: angin menghantarkannya pada sebuah pot di sudut rumah. Bagaimana jika sebaliknya?
Ada banyak cerita yang akan di lewati oleh si bunga pot di sudut rumah. Tapi amboi, bunga di taman terbuka akan rentan sekali oleh jamah tangan pendosa.
Bukankah...
Sebagai bunga, ia tak bisa protes atau sesukanya berpindah tempat, ia hanya menerima.
Toh bunga yang di pot di sudut rumah, ia tak mampu berkata, mungkin saja ia tak pernah memimpikan pergi ke taman, bukan? Saat pagi hari si empunya datang menyiraminya, mengambil helai daunnya yang jatuh, ia begitu suka cita. Itu sudak cukup baginya.
Begitu juga, bunga di taman terbuka mungkin ia selalu menantikan seseorang di sana, sekedar lewat atau duduk sebentar, lalu bercakap padanya lewat seulas senyum. Itu telah membuatnya lebih bermekaran setiap harinya.
namun yangg pasti, diantara keduanya... tak pernah memimpikan apa yang ada di luar keduanya, sehingga menyiksa semuanya. Cukup, itu baginya sudah cukup.
Keduanya begitu tekun dan istikomah dengan rasa penerimaannya.
Keduanya lebih sibuk memikirkan nikmat daripada rasa inginnya atau mimpinya.
Apa yang telah ia terima kini jadi semacam mabuk yang meinmbulkan syukur...
Ya, posisi keduanya, tempat keduanya memang membuat ia dan ia akan berbeda..
Keduanya pasti berbeda...
Tapi masing-masing ia, masing-masing mereka menjadi dirinya.
Adapun aku bukan bunga, aku bisa bergerak dan memutuskan.
Entah untuk ke depan, jika saja rasa jenuh telah membuatku lelah jadi bunga liar di taman terbuka, dengan ijin Mu Rabb, sampaikanlah rasa ingin tertutupku, untuk jadi bunga di pot sudut rumah.
Rabbi...
Jika aku masih senang menjadi bunga yang amat liar, dalam pandangan mereka yang tak terjaga, dalam hidup yang peuh liku, ke sana-sini sendiri. Suatu saat, dimana aku sungguh merindukan sebuah hunian, yang amat sepi karena buah hati yang tidur pulas, lalu ku putar surat Al-kahfi perlahan...
Dimana, bukan debu jalan yang singgah di wajahku, tetapi asap debu dapur untuk menyenangkan perut si teman hidup. Akan ada dimana bunga menjadi mekar di pot rumah, setelah ia diambil dengan terhormat oleh tukang kebun taman, dan dihadiahkan pada anak sulungnya yang salih.
Lalu ditempatkannya aku di sudut rumah, memberikan warna wangi dan kesegaran hijau.
Setiap pagi, menyapaku, bahkan sebelum embun.
Lalu, dimana nikmat yang kudustakan.
Begitulah saat ini, aku masih menunggu takdirku, tentang tukang kebun yang akan datang padaku. Memindahkanku dengan hati-hati, pada tahun-tahun ini, atau tahun-tahun depan, saat kemarau berlalu, dan musim penghujan datang, mengusir pergi.
Hatiku telah bahagia, kini dengan memimpikannya, sudah cukup membahagiakan. Tak boleh ada yang berteriak di rumahku, cukup senyap, lalu senyuman, lalu tertawa yang di tahan, saling sapa, saling mendoakan, saling meyayangi, hanya itu.
Impian sekuntum bunga di taman belakang. Mungkin hanya bunga rumput, yang tetiba bermimpi: angin menghantarkannya pada sebuah pot di sudut rumah. Bagaimana jika sebaliknya?