Seharusnya malam ini ia terpejam. Tapi musik di rumah sebelah membangunkan. Ada apa ini? Mengapa malam-malam begini begitu ramai? Ia melihat jam dinding tua di sudut ruangan, waktu masih menunjukan pukul dua dini hari. Masih malam, tapi mengapa begitu ramai di luar sana? Ada apa gerangan?
Tiba-tiba ia merasa kedinginan. Selimut tebalnya berada tepat dibawah kakinya. Ah, ia kembali bergumul dengan selimut yang ia cintai. Tiba-tiba musik di rumah sebelah terdengar lebih kencang dengan nada-nada yang aneh dan sumbang.
Ia tak bisa memejamkan mata, udara semakin dingin dan selimut tebalnya yang ia cintai tak lagi bisa menahan rasa dinginnya yang mematahkan bulu dan merontokkan gigi. Benar-benar dingin, ia kedinginan.
Musik di rumah sebelah kini melemah. Dan suara-suara tawa bergantian seperti menggantikannya, terbahak -bahak menertawakan nasib satu orang ke orang. Ada apa malam-malam begini tertawa? Tidakkah cukup siang hari mereka bercanda dengan hidup?
Ia tak kuasa untuk tidak melihat, siapakah gerangan yang malam-malam begini tertawa-tawa? Tuhanpun meminta manusia untuk bangun dini hari bukan untuk tertawa melainkan untuk menangis dan berdoa.
Masih dengan berselimut tebal, ia berjingkat mendekati jendela. Dibukanya jendela yang menghadap ke rumah si tetangga. Diluar temaram, tampak langit malam berwarna abu, dan rumah sebelah mendadak sepi. Tak ada musik atau orang tertawa.
Ia tidak percaya. Ini seperti mimpi? Benar, mungkin ini hanya mimpi. Mimpi terkadang seolah nyata, pikirnya.
Ia bermaksud menutup jendela dan melupakan musik aneh dan orang yang tertawa terbahak. Namun, saat ia hendak menutup jendela.........................
Awan hitam menjelma...
Angin bertiup sangat kencang......
dan auman srigala terdengar menyayat nyayat..
anjing-anjing liar menyalak di kejauhan....
Ia melihat sesuatu bergerak kearahnya, hitam tinggi berkelebat dengan cepat, sangat cepat, melesat seperti kilat.
Belum sempat ia membuka mulutnya, atau mengedipkan matanya, atau menutup jendela, makhluk itu telah berada tepat di depannya dan bertanya, "Dimanakah rumah Annisa Zahraa?"
Ia terhenyak, baginya ini pertanyaan kutukan. Siapa yang perduli. Siapa makhluk ini. "Annisa Zahraa telah berpulang, dua malam kemarin." Ia menjawab tiba-tiba, seperti terkena sengatan.
Makhluk ini menyeringai, menakutkan. Seperti kedatangannya, kepergiannya pun terasa sekejap mata, secepat angin membawa harum melati dari nisan bertuliskan: "Annisa Zahraa, lahir 08-09-1992". Ia terduduk dengan menangis di bawah jendela jam dua dini hari lebih dua puluh menit.
*Dengan uraian air mata. Az.
0 komentar:
Posting Komentar