Kuawali
catatan perjalananku ini dengan sebuah ungkapan luar biasa, dari sahabat Ali
bin Abi Thalib ra, yang kunukil dari prolog: Buku 99 Cahaya di Langit Erofa:
Wahai Anakku!
Dunia ini bagaikan samudra, tempat
banyak ciptaan-ciptaan-Nya tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan
menyebut nama Allah.
Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai
kapal-kapal yang menyelamatkanmu.
Kembangkanlah keimanan sebagai
layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nakhoda
perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaaan.
Bimillahirohmanirrohim,
akhirnya secuil pengalaman ini kutulis juga. Januari, 2014 hari ke-22 kami diharuskan
–dengan tepat waktu- tiba di Gd. UC-UPI Bumi Siliwangi, Setiabudhi-Bandung,
untuk urus-mengurus sebuah program kemahasiswaan. Program berupa bantuan dana
kepada para mahasiswa untuk bisa berwirausaha. Kami berenam –semua perempuan; penulis,
Jenie, Intan, Erma, Nida, Anggi- dari kampus daerah –Tasikmalaya- termasuk kedalam
para mahasiswa yang mendapat amanah dan anugerah itu.
Baik.
Perjalanan kali ini seperti perjalanan yang super duper berat, padahal tidak
ada yang berbeda, Tasikmalaya-Bandung ditempuh 4 jam dengan naik Bis Budiman,
lazimnya memang begitu. Usut punya usut ternyata bukan aku saja yang merasa
begitu tertekan, teman yang lain-pun merasa demikian.
Bagaimana tidak, biasanya perut tak pernah
berkontraksi sedemikian dahsyat.
Jam
tiga subuh sang alarm sudah berbunyi, sahabat satu kamar sudah lebih duluan
bangun. Beliau tengah menunaikan salat malam.
Pagi
yang dingin, langsung beres-beres –packing- mempersiapkan segala keperluan
disana, catatan plus pena, notebook plus charger, beberapa dokumen penting,
buku-buku bacaan, dan obat pribadi.
Memang
diakui, penyebab terasa berat perjalanan kali ini adalah: Tidak sempat makan
atau minum sebelum berangkat -jadilah masuk angin. Teman-teman yang janjian
denganku sebelumnya untuk berangkat bersama sudah menghubungi berkali-kali,
bahkan tellphone “Teh lagi dimana, Teh
lagi dimna?”
Oke,
jam 05.00 aku baru berangkat dengan techno merah menjemput dua teman-Jeni dan
Erma. Baru saja 15 meter keluar dari kostan, ups! Lupa gak pakai kacamata,
pantesan aja dunia terasa muram, aku terpaksa balik lagi. Kasihan mereka
nunggu, seperti biasa kami deti-dempet tiga- bukan sengaja biar dibilang cabe (hehehe). Kami langsung menuju full
budiman-Indihiang.
Untuk
teman-teman yang bawa motor ke full budiman, tidak usah takut dan risau. Ada
penitipan khusus motor disana. Di belakang full ada sebuah masjid. Nah,
disanalah biasanya aku titipkan motor. Ditukar dengan sebuah kartu kuning yang
kecil.
Jangan lupa kuncinya dibawa. Nanti jika pulang kita tukar lagi kartu
kuning ini (makanya jangan sampai hilang) dengan motor kita, tentu dengan
membayar uang keamanan Rp 4000,- saja. Itu tarif normal, jika melebihi batas
satu hari tarif tidak berlaku lagi, dan disesuaikan.
Oke,
kembali ke mengapa perjalanan ini teramat berat.
Sebelum
menginjakkan kaki dilantai bus, kami berlima sempat membeli makanan untuk
menyuap sang perut agar tidak demo pagi-pagi. Kecuali seorang teman karena ia
telah membawa perbekalan makanan dari kostnya.
Namun
nahasnya, suasana bis tidak membuatku bernafsu untuk menelan satu pun makanan
yang dibeli. Kemudian teman satu jok –Dik Jenie- menawariku roti, dan happ nyam
nyam langsung dilalap habis. Satu jam
kemudian terasa perut berkontraksi, mungkin juga karena efek melihat layar
handphone, ada beberapa pesan masuk dari keluarga dan teman yang mendoakan.
Heum,
sampai ketika seorang teman mengirim pesan katanya “Bawa keresek gak?”
Alamak!
Ha,
benar biasanya kami selalu saling mengingatkan untkuk bawa keresek jika
bepergian, kalau-kalau…., sedia keresek sebelum meletus, hihi.
Coba
ditidurkan. Aih setelah ditidurkan pun tetap terasa seu-isi perut mau keluar.
Tahan-tahan. Ditambah udara dingin menusuk-nusuk, sang Air Condition sukses
mempercepat kontraksi.
Tiba-tiba
bapak kondektur menyapa kami, seperti biasa tiket bis dibeli dan dibayar
langsung di dalam, Tasik-Bandung dengan AC Rp 30.000,-, jika tanpa AC Rp
25.000,-.
Hanya beda sedikit, dengan resiko besar. Tanpa AC, biasanya akan
ditemukan banyak perokok di dalam bis, dan itu sangat menjengkelkan dan
menyebalkan-bagiku. Jadi hitung-hitungan Rp 5000,- itu bukan untuk bayar angin
semata, bagiku lagi- itu juga kompensasi keselamatan diri dari asap rokok yang
menyesakkan dan mematikan.
Setelah
bapak kondektur berlalu. Oke. Dengan merubah posisi duduk, aku berusaha untuk
menahan rasa mual yang mulai merangsek tak terkendali. Datang lagi si mual ini.
Oh jangan sekali-kali saat kau mual melihat ke lantai bis, itu hanya akan jadi
petaka, tengadahkan kepalamu dan pejamkan!
“Dik,
mual banget.” kataku pada Jenie dengan tersendat.
“Ini
Teh, “ katanya sambil menyodorkan keresek hittam. Hahahha… amat sangat
pengertian.
Kuambil
dan kupegang dengan kuat, ya Allah apa aku akan muntah? Hoek..hoek.. aku
terbatuk, sudah sampai ketenggorokan, kutelan lagi, ah! Pejamkan mata ayo,
keringat dingin mulai keluar. Cepat –cepat kuambil minyak angin dan dioleskan
pada kening leher dan perut tentunya, kontraksi mulai sedikit mereda, aku tidak
bisa bergerak, kaku diam dan kemudian memutuskan untuk menutup mata- sementra,
pura-pura tidur-sampai pulas!
Nah
Az, selamat tertidur nyenyak.
Semua
orang pasti pernah mengalami perjalanan bukan? Coba acungkan tangan yang gak
pernah naik bis? Gak ada yang mengacung, kecuali tarzan.
Meskipun
perjalanan kadang membuat bosan, bikin perut mual-bagi yang jarang bepergian,
biasanya- sangat menjengkelkan apalagi jika jauh dan ditambah macet. Check
these out, buat kamu ada beberapa tips supaya perjalanan lebih indah untuk
dinikmati daripada sekedar bengong:
1 1. Tidur, ini dia pilihan favoritku. Kekekeke,
untuk beristrahat, apalagi jika kondisi badan tidak baik, seperti sekarang.
Daripada menggerutu dan sebagainya, lebih baik tidur dan jangan lupa minta
perlindungan Allah, siapa tahu saja pas kita tidur ada hal yang tidak baik.
Kita mohonkan pada Allah untuk menjaga kita, menjaga barang bawaan kita dan
menjaga pandangan orang ke kita.
2. Baca
buku, pilihan ini
tentu saja cocok hanya apabila
kondisi jalannya lurus dan tenang. Jangan coba-coba deh baca buku saat situasi
tidak terkondisi seperti perjalanan berkelok-kelok, atau jalan bergelombang.
Karena selain bisa bikin mual, juga merusak mata. So, jika perjalanan tenang,
mobil melaju seperti tenangnya salju turun, atau keadaan sedang macet dan mobil
yang kita tumpangi bagaikan siput yang kelelahan, kita bisa baca buku- tetunya
buku yang kita sukai.
3 3. Baca
Almatsurat atau dikir
sebanyak-banyaknya, perjalanan menyimpan banyak kemungkinan-kemungkina yang
tidak terduga, bisa saja bukannya kita sampai ke tujuan melainkan malah ke
kuburan atau rumah sakit, naudzubillah. Mengingat Yang Maha Kuasa terasa jauh
lebih menenangkan, dengan memohon perlindungan padanya. Berdzikir pun bisa dilakukan sambil
mentadaburi pemandangan yang kita lihat di sepanjang perjalanan, sambil
mendoakan semua yang kita lihat, melihat padi kenapa tidak kita mendoakan
semoga padi itu berkah. Melihat orang yang berjalan, kita doakan orang yang tengah
berjalan itu suatu hari punya motor atau mobil, atau semoga mereka selalu
bahagia dan berada di jalan Allah. Mengasyikan deh!
4. Mendengarkan
music. Kegiatan ini
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan headseat, agar tidak mengganggu orang
lain. Pilihlah atau setting handphonenya, dengan diisi oleh lagu-lagu yang kamu
sukai, nasyid missal, pastikan daya baterainya masih cukup, dan nikmati
perjalanan ini dengan sekali-kali memejamkan mata meresapi ketenangan dari syair
lagunya, dan alangkah akan lebih berpahala jika yang di dengarkan adalah
ayat-ayat Al-Qur’an. Sekalian menghapal atau muraja’ah kan? Atau solawatan.
5. Tips lainnya menyusul ya, atau
silahkan berkreasi, missal makan atau
jailin teman, atau chatingan. Tergantung kamu! Asal tidak berbahaya, dan
pastikan bermanfaat.
Kami tiba di terminal Cicaheum untuk
kemudian melanjutkan ke Setiabudhi dengan naik angkot jurusan Caheum-Ledeng.
Hiruk pikuk terminal tenyata masih memiliki hati, saat syal merahku terjatuh
semua orang yang ada di sana memperingatkanku “Neng, Neng, syalnya jatuh….”
Subhanallah mereka semua baik. Namun tiba-tiba jantung rasanya copot, saat mau
masuk ke angkot ada seorang bapak-bapak tua mendekat dan bertanya sambil
mendekatkan wajahnya ke wajahku, “Kenapa Neng sedih?
Subahanalloh euh astagfirulloh kaget
bener, “Enggak Pak.” jawabku singkat sambil cepat-cepat menjauh dan slebbb
masuk ke angkot.
Angkot tidak lama menunggu seperti
biasanya, karena angkutan sudah penuh. Kini ia melaju dengan tenang, Wilujeng sumping,
selamat datang di Bandung!
Sang perut sudah tidak lagi mual.
Tiap lampu merah kami disuguhi
lagu-lagu. Caheum-Setiabudhi, sudah 3 orang pengamen yang kami temui. Alhamdulillah deh, meramaikan perjalanan. Ada
seorang pengamen suaranyanya “cukup menyakitkan” tapi lagu yang dibawanya nyep
ke hati:
Opik-Bila Waktu.
Lagunya clebb banget. Berasa sedang
naik onta terbang, dunia ini tak ada apa-apanya, andai angin ini menghembuskanku
tiba-tiba, aku bisa saja lenyap seketika. Ya Allah.
Sepuluh menit kemudian dilampu merah
terakhir, dua orang laki-laki bernyanyi kembali, suaranya keren, mirif Judika,
sayang lagunya :lagu patah hati. Tapi nikmati saja-lah.
Melihat pengamen aku jadi teringat
artikel M. Aan Mansyur seorang sastrawan, yang artikelnya dimuat di Koran Tempo
Makasar. Meskipun memang yang beliau paparkan adalah tentang pengemis, tapi
kasusnya tak jauh berbeda dengan kisah pengamen. Kini pemerintah telah membuat
peraturan, “Pengemis dan pengamen jangan dikasih uang, agar mereka mau
diberdayakan”. Rasanya jadi dilemma.
Ah, pemerintah lebih tahu mungkin,
bukankah mereka dipelihara oleh Negara? Mengapa juga harus kata “pelihara”,
mengapa tidak kata mereka “dibimbing dan dimartabatkan” oleh Negara.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 sudah waktunya untuk diamandemen. Miskin,
ngemis kok dipelihara. Pelihara yang baik-baik saja-lah.
Pukul 10.30 WBBI, kami tiba di kampus
tercinta. Haikh tarik nafas dulu, nikmati udaranya, angin di Bandung terasa
lebih kencang. Dan hal pertama yang kulakukan adalah mengisi perut. Tentu
dengan sebelumnya-setelah lima menitan menikmati udara-, nikmati moment
Aku dan seorang kawan
menuju kantin kampus, mencari nasi tentunya!
Siapa kira, ternyata nasi di sini
(Kopma UPI) murah sekali, “Silakan ambil sendiri dan bayar disini”.
Saya menciduk nasi secukupnya, dengan
sayur belimbing wuluh dan oseng kikil, coba tebak berapa harganya?
“ENAM RIBU!”
Kocek mahasiswa banget-kan, ditambah
bonus teh hangat sepuasnya.
Selepas mengisi perut kami langsung
menuju Al-Furqon, sedang ada kajian khusus yang dibawakan oleh Imam Beasar
Masjid Istiqlal Jakarta, coba tebak siapa namanya. Prof. Dr. K. H. Ali Mustafa
Yakub, MA. That’s right!
Biasa sambil mendengarkan ceramah,
saya sambil nguntrek bikin catatan perjalanan. Temanku yang lain menunaikan
solat dhuha. Mantap!
Hei ternyata, habis kajian ada makan gratis!!!!!
Kami pun bersiap-siap makan gratis, dengan
malu yang ditekan sekuatnya. Hahay, kami berdua –penulis dan Jenie- saling
menunjuk siapa yang akan duluan ngambil. Namun tiba-tiba kami punya ide,
“Gimana kalo sepiring berdua?” Dan terpilihlah diriku untuk menjadi kandidat
sebagi pengambil makanan, dengan pesanan yang gileee kurang ajar banget! “Teh
ambil semuanya DUA ya….”
Aku berdiri dan siap mengantri, tapi
“Hahahha, malah balik lagi, gak kuat mental nih..”
Jenie tersenyum atau bahkan tertawa-
menertawakan tingkahku yang aneh ini.
KITA GAK KUAT MENTAL.
Akhirnya seperti puisi “Pita Hitam”,
kami anak kecil dengan langkah malu-malu datang mendekati meja untuk mengambil
beberapa makanan. Horay, kuat mental juga kita, benar sekali konsep “Bersatu
kita berani, ber-sendiri-sendiri kita pengecut”. Kami memutuskan untuk hanya
mengambil sop buah saja, ah malu kalau ngambil nasi dkk, hihihi (tetep aja
pemalu). Sop buah dengan menu nanas matang yang manis, bengkoang cuek dan sedikit
papaya ini, masuk ke perutku dengan sensasi dingin luar biasa. Udara dingin di
Al-Furqon lantai 2 ditambah sop buah dingin, benar-benar bikin gigi rontok dan
bulu-bulu kaki berdiri.
Tak lama kemudian adzan dzuhur
berkumandang. Lets pray dzuhur!
Selepas solat dzuhur, kami langsung
menuju gedung pertemuan, Gedung UC lantai 5, sudah ditunggu oleh Ibu
administrator, dengan sebelumnya sempat salah lantai-malah lantai 3- hihihi.
Pas masuk, hap kami telah disediakan
konsumsi. Benar-benar konsumsi yang menggiurkan lidah.
Mungkin ini hikmah malu
tadi, Allah menghendaki kami makan dengan tingkat lapar yang pas agar bisa
menikmati santapan lezat ini. Makan siang pikirku!
Makan-makan.
Acara berlangsung, aku berkutat
–dengan gaya autis- mengisi kuisioner sampai pada namaku disebut dan harus maju
ke depan untuk mengambil tabungan mandiri dan atmnya atas namaku.
Wow!
Program Mahasiswa Wirausaha (PMW),
dananya akan segera cair, dan tentu saja kami berenam harus mulai focus dan
merubah diri-MEMANTASKAN DIRI- menjadi seorang Job Creator! Wirausahawan! Entrepeneur! Pebisnis! Atau apalah. Ya
Allah, mudah-mudahan kami bisa! Ini amanah, dan Allah percaya, kita mesti
yakin, kita mampu!
Acara ditutup jam 14.00-an dengan foto
bersama dengan wajah yang penuh percaya diri.
Perjalanan belum berakhir, sehari ini
masih panjang.
Aku dan Jenie sebelum pulang
memutuskan untuk mampir ke Kaffa-Geger Kalong-DT, sebuah toko gamis dan
kerudung.
Melihat-lihat saja, dan memutuskan hanya membeli kerudung panjang
yang harganya Rp 30.000-an.
Tiba-tiba adzan ashar berkumandang,
tidak terasa ya. Kami memutuskan solat di masjid Darut-tauhid, setelah selesai beli
dulu obat magh dan jus manga. Kemudian kami langsung jalan kaki dan meyetop
sebuah angkot. Menyeberang jalan sore-sore di kota besar seperti Bandung, sulit
sekali!
Kami terkantuk-kantuk di sana di dalam
angkot. Aku merasa tidak nyaman mungkin karena -sebelumnya aku telan obat mugh-
keringat dingin keluar yang membuat lengket, meski begitu rasa bosan telah
menyulap kami sampai tidak sadar tertidur dengan seperti kera dibius di dalam
baja berbaju hijau. Lelap sekali! Ping!!!
Terbangun saat terminal caheum di
depan mata, tepat!
Kami naik bis Budiman lagi, di dalam
sana penumpang belum padat dan KAMI bersiap meluncur lagi menuju Tasikmalaya.
Kota yang kami rindukan untuk segera mengembangkan bisnis! Aamiin, semoga.
Sampai di full-Bud jam 21.30 WBBI,
dengan keaadaan pucat pasi -teman kami ada yang sukses berat- muntah! Hihihi,
aku juara kedua mungkin dalam hal ini, meskipun hanya sampai tenggorokan dan
kembali lagi ke lambung, tapi keadaanku sangat payah, lebih payah dari yang
muntah! Pelajaran baru: “Orang yang tidak berani mengeluarkan unek-unek akan
lebih payah ketimbang orang yang unek-uneknya dikeluarkan”.
Heum, perjalanan ini cukup melelahkan,
aku berharap ada banyak hal yang akan aku lakukan lagi, dan kuceritakan bersama.
“Seperti halnya awan tak pernah alpa
mengesankan langit. Aku berusaha mengesankan hari dengan catatan.”
Az.